1. Apa itu Hermeneutika
Dalam The New Encyclopedia Britannica, dikatakan bahwa hermeneutika
adalah studi tentang prinsip-prinsip umum dalam interpretasi Bible
(hermeneutics is the study of the general principal of biblical
interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan
nilai-nilai dalam Bible.
Dalam sejarah interpretasi Bible, ada empat model utama
interpretasi Bible, yaitu : Pertama, literal interpretation(1); Kedua, moral
interpretation(2); Ketiga, allegorical interpretation(3), dan keempat;
anagogical interpretation(4). Dari model-model ini, yang menjadi arus utama
sejak awal sejarah Kristen adalah model literal (model Antioch) dan model
alegoris (model Alexandria). (Husaini, 2005). Keempat model interpretasi Bible
tersebut dipraktikkan sejak awal sejarah Kristen (abad ke-4 M), dengan tokohnya
Saint Jerome, hingga berakhirnya Abad Pertengahan (abad ke-16 M) dengan
tokohnya Marthin Luther. Pada masa modern, hermeneutika dipelopori oleh
Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Tokoh teolog Protestan ini dikenal
sebagai Bapak Hermeneutika Modern yang pertama kali berusaha membakukan
hermeneutika sebagai metode umum interpretasi yang tidak terbatas pada interpretasi
kitab suci atau kitab sastra. Menurut Fahrudin Faiz dalam bukunya Hermeneutika
Al-Qur`an (2005), ada tiga tipe hermeneutika. Pertama, hermeneutika sebagai
cara untuk memahami. Contoh tokohnya adalah Schleiermacher, Dilthey, dan Emilio
Betti. Kedua, hermeneutika sebagai cara untuk memahami suatu pemahaman. Tokohnya
semisal Heidegger (w. 1976) dan Gadamer. Ketiga, hermeneutika sebagai cara
untuk mengkritisi pemahaman. Tokohnya semisal Jacques Derrida, Habermas, dan
Foucault. (Faiz, 2005:8-10).
Dalam perspektif pendekatan hermeneutik, menurut Amin Abdullah,
variabel pemahaman manusia sedikitnya melibatkan tiga unsur. Pertama, unsur
pengarang (author). Kedua, unsur teks (text). Ketiga, unsur pembaca (reader).
Ketiga elemen pokok inilah yang dalam studi hermeneutika disebut Triadic
Structure (Faiz, 2005).
Hermeneutika
Al-Qur`an
Seiring dengan hegemoni peradaban Barat atas Dunia Islam,
hermeneutika pun mengalami perkembangan lebih jauh lagi, yakni diaplikasikan
oleh para intelektual muslim liberal terhadap Al-Qur`an. Pelopornya adalah para
modernis (pembaharu) muslim abad ke-19 M, seperti Sayyid Ahmad Khan, Ameer Ali,
Ghulam Ahmad Parvez, dan Muhammad Abduh (Faiz, 2005). Pada abad ke-20, dalam
dekade 60-an hingga 70-an, muncul beberapa tokoh dengan karya-karya
hermeneutik. Hassan Hanafi, Arkoun, Fazlurrahman, dan Nasr Hamid Abu Zayd
disebut-sebut sebagai tokoh-tokoh yang menafsirkan Al-Qur`an dengan metode hermeneutika
(Mustaqim, 2003:104-117; Mustaqim & Syamsudin, 2002:149-167).
Hermeneutika, sebagaimana disebut di atas, pada dasarnya merupakan
suatu metode penafsiran yang berangkat dari analisis bahasa dan kemudian
melangkah ke analisis konteks, untuk kemudian "menarik" makna yang
didapat ke dalam ruang dan waktu saat proses pemahaman dan penafsiran tersebut
dilakukan. Jika pendekatan hermeneutika ini dipertemukan dengan kajian
Al-Qur`an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks Al-Qur`an
hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan
didialogkan dengan dinamika realitas historisnya.
Lebih jauh ada tiga variabel yang harus diperhatikan dalam rangka
penerapan hermeneutika pada Al Qur’an yaitu teks, konteks, dan
kontekstualisasi. Tentang teks, sudah jelas Ulum Al-Qur`an telah membahasnya
secara detail, misalnya dalam sejarah pembukuan mushaf Al-Qur`an dengan metode
riwayat. Tentang konteks, ada kajian asbabun nuzul, nasikh mansukh,
makki-madani yang menunjukkan perhatian terhadap aspek "konteks"
dalam penafsiran Al-Qur`an. Tapi level kesadaran konteks hanya membawa ke masa
lalu, untuk itu harus ditambahkan variabel kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan
kesadaran akan kekinian dan segala logika serta kondisi yang berkembang di
dalamnya. Variabel kontekstualisasi ini adalah perangkat metodologis agar teks
yang berasal dari masa lalu dapat dipahami dan bermanfaat bagi masa sekarang
(Faiz, 2005).
2. Metode Hermeneutika dan Ilmu Tafsir Al Qur’an
Secara epistemis, terbukti bahwa kelahiran
tafsir hermenutika tidak bisa dilepaskan dari sejarah Yahudi dan Kristen,
ketika mereka dihadapkan pada pemalsuan kitab suci, dan monopoli penafsiran
kitab suci oleh gereja. Dari sinilah mereka perlu melakukan dekonstruksi wahyu,
yang telah tereduksi menjadi Corpus
officiel clos itu. Dengan teori linguistik, mereka susun tahap wahyu untuk
menjustifikasi keabsahan tafsiran mereka, yang sama-sama bersumber dari wahyu,
meski bukan wahyu verbal. Meski begitu, hermeneutika tetap tidak bisa menyelamatkan
kitab suci mereka dari praktek pemalsuan, termasuk tidak lepas dari problem
besar, hermeneutic circle.
Realitas ini tidak dihadapi ummat Islam.
Ummat Islam tidak pernah menghadapi problem seperti ummat Yahudi maupun
Kristiani, baik menyangkut soal pemalsuan kitab suci maupun monopoli
penafsiran. Di dalam Islam ada ilmu riwayat, yang tidak pernah disentuh oleh
hermeneutika. Dengan ilmu ini, autentisitas al-Qur’an dan Hadits bisa
dibuktikan. Dengan ilmu ini, riwayat Ahad dan Mutawatir bisa diuji; dan
dengannya, mana mushaf yang bisa disebut al-Qur’an dan tidak bisa dibuktikan.
Dengannya, historitas tanzîl, atau asbâb an-nuzûl ---dan juga asbâb al-wurûd---
bisa dianalisis. Begitu juga, periodisasi tanzîl, atau Makki dan Madani, bisa
dirumuskan dengan bantuan ilmu tersebut. Dengannya juga, bisa disimpulkan,
bahwa pembukuan al-Qur’an itu karena perintah Allah, bukan karena faktor sosial
atau politik. Pengetahuan tersebut kemudian disistematikan oleh para ulama’
dalam kajian ‘Ulûm al-Qur’ân.
Dari sini, bisa disimpulkan bahwa sejarah
yang melatarbelakangi lahirnya hermeneutika adalah sejarah pemalsuan kitab suci
dan monopoli penafsiran pihak gereja. Anggapan inilah yang telah melahirkan
hermeneutika sebagai kaidah interpretasi-epistemologis. Anggapan seperti sama
sekali tidak terlintas dalam kepala ummat Islam. Baru setelah abad ke-20,
anggapan ini dikembangkan oleh kaum terpelajar Muslim yang belajar di Barat,
sehingga seakan-akan ummat Islam menghadapi persoalan dengan kitab suci mereka,
seperti yang dihadapi ummat lain. Muncul Fazlur Rahman dan Arkoun, disusul
Nashr Abû Zayd dan lain-lain, yang mengusung teori hermeneutika ini sebagai
metode tafsir al-Qur’an.
Dengan dalih obyektivitas, hermeneutika
---sebagai interpretasi-epistemologis--- telah menolak semua anggapan untuk
membangun kesimpulannya. Tetapi, kenyataannya anggapan itu tidak pernah bisa
dielakkan. Inilah yang kemudian mereka sebut dengan problem besar, hermeneutic
circle (lingkaran setan tafsiran) itu. Ini sekaligus menunjukkan kesalahan teori
ini, sebagai metode berfikir. Dengan dalih obyektivitas, semua anggapan
dibuang, padahal obyek kajian yang dihadapi bukanlah realitas empiris yang bisa
diuji dengan kaidah eksperimental layaknya obyek kajian ilmiah. Kesalahan
inilah yang menyebabkan kesalahan-kesalahan berikutnya, termasuk ketika teori
ini digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an.
Padahal, al-Qur’an adalah kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan menggunakan bahasa Arab untuk
menjelaskan kepada ummat manusia, tentang apa saja ihwal kehidupan mereka.
Kitab ini telah diturunkan secara mutawatir, dan tersimpan di antara dua ujung
mushaf. Inilah anggapan ---tepatnya realitas--- yang melatarbelakangi lahirnya
tafsir al-Qur’an sebagai kajian yang berusaha menjelaskan makna-makna yang
digali dari lafadz-lafadz kitab suci tersebut. Dari sinilah, dengan tegas Ibn
Khaldûn menyatakan, bahwa tafsir al-Qur’an merupakan bagian dari al-‘ulûm
an-naqliyyah, ilmu yang berpijak pada informasi dari pembuat syariat. Karena
bidang tafsir adalah makna lafadz al-Qur’an, sementara al-Qur’an sendiri adalah
kitab at-tasyrî’ yang berbahasa Arab, maka metode tafsir tidak bisa dipisahkan
dari dua sumber tersebut, bahasa dan syara’. Dari sinilah, Ibn Khaldûn membagi
tafsir menjadi dua: tafsîr naqlî, atau yang kini populer dengan istilah tafsîr
bi al-ma’tsûr, dan tafsîr yarjî’ ilâ al-lisân, atau ---meminjam istilah Syaikh
Taqiyuddîn an-Nabhâni--- tafsîr bi ar-ra’y. Jenis tafsir yang pertama adalah
tafsir yang berpijak pada riwayat, termasuk nâsikh-mansûkh, asbâb an-nuzûl, dan
maksud ayat. Sedangkan jenis yang kedua berpijak pada pengetahuan bahasa Arab,
i’râb, dan balâghah sesuai dengan maksud dan gaya bahasa al-Qur’an. Kedua jenis
tafsir ini jelas sangat ditentukan oleh informasi yang dikumpulkan oleh mufasir,
baik yang bersumber dari sumber syara’ maupun bahasa. Dan, hanya dua model
tafsir inilah yang diterima oleh para ulama’ sebagai tafsir yang representatif
dan obyektif. Adapun tafsîr isyârî atau tafsîr ‘irfâni, tafsir yang dibangun
berdasarkan pembacaan simbolis dan mistis ---seperti yang digagas oleh kaum
Sufi--- atau tafsir imaginer ---seperti yang digagas Arkoun--- adalah tafsir
yang dianggap tidak obyektif. Karena tafsir yang terakhir ini tunduk pada akal,
atau pengalaman esoteris pembacanya.
Dengan kata lain, obyektivitas tafsir
al-Qur’an itu ditentukan oleh tunduk dan tidaknya akal dalam melakukan
pembacaan terhadap teks berdasarkan kedua sumber tersebut. Karena akal hanya
berfungsi untuk memahami, maka dikatakan obyektif, jika tafsiran akal tunduk
pada kedua sumber ---syara’ dan bahasa--- tersebut. Jika akal tidak tunduk pada
kedua sumber tersebut, berarti al-Qur’an ---seperti yang dituduhkan Arkoun---
hanya menjadi alat justifikasi. Justru inilah yang menyandera tafsir
hermeneutika Fazlur Rahman, Arkoun, Nash Abû Zayd dan kawan-kawannya. Di
sinilah letak persoalan metode tafsir hermeneutika yang mereka kembangkan,
ketika anggapan-anggapan dasar yang seharusnya digunakan dalam menafsirkan
al-Qur’an semuanya dibuang, seperti akidah dan syariat Islam, misalnya. Justru
anggapan-anggapan kufur sengaja dikembangkan dan menjadi asumsi dasar tafsir
hermeneutika mereka, misalnya: al-Qur’an adalah produk budaya, al-Qur’an adalah
kompilasi Kata Tuhan dan kata Muhammad, al-Qur’an sudah tereduksi menjadi korpus
resmi tertutup, dan karenanya harus didekonstruksi. Akibatnya, apa saja yang
berbau syara’ harus dibuang, demi ---apa yang mereka klaim sebagai---obyektivitas.
Maka, teori hermeneutika yang memang lahir
dari ranah budaya Yahudi dan Kristen itu, tentu tidak mampu untuk menjangkau
apa yang dimaksud oleh al-Qur’an itu sendiri. Sebagai contoh, klasifikasi kata
(lafadh) Arab, seperti majâz (kiasan) dan haqîqah (hakiki), memang dibahas oleh
teori hermeneutika, sebagaimana kajian ilmu tafsir, tetapi teori hermeneutika
tidak mengenal haqîqah syar’iyyah, seperti lafadz al-jihâd, as-shalâh dan
sebagainya. Padahal, realitas tersebut ada di dalam al-Qur’an, ketika lafadz
tersebut telah direposisi oleh sumber syara’ dari makna bahasa menjadi makna
syara’. Karena teori hermeneutika tidak mengenal haqîqah syar’iyyah, maka kedua
lafadz tersebut tetap diartikan sebagai haqîqah lughawiyah, sehingga
masing-masing diartikan dengan kerja keras untuk jihâd, dan berdoa untuk
shalâh. Tidak dimasukkannya, atau lebih tepat ditolaknya, keberadaan haqîqah
syar’iyyah dalam teori hermeneutika adalah, karena teori ini lahir bukan dari
teks syara’.
Dengan kerangka epistema seperti ini, teori
hermeneutika juga tidak menyentuh nâsikh-mansûkh, atau penggunaan teks di luar
konteks historisitasnya, sebagaimana yang dibakukan dalam kaidah: al-‘ibrah bi
‘umûm al-lafdh[i] la bi khushûs[i] as-sabab. Sebab, keduanya bersumber dari
sumber syara’. Dengan teori ini, ayat-ayat yang telah dinasakh dianggap masih
berlaku, misalnya, surat Ali ‘Imrân [03]: 130, yang membolehkan riba, asal
tidak berlipat ganda. Padahal, ayat ini sudah dinasakh dengan surat al-Baqarah
[02]: 278. Kasus yang sama juga berlaku pada ayat-ayat khamer, sehingga baik
riba maupun khamer menjadi boleh. Inilah produk tafsir hermeneutika. Dengan
kerangka yang sama, kaidah bahasa: muthlaq-muqayyad, seperti dalam kasus
as-sâriq[u] wa as-sâriqat[u] surat al-Mâ’idah [05]: 38, yang muthlaq kemudian
di-taqyîd dengan hadits: majâ’ah mudhtharr (kelaparan yang mengancam nyawa),
tidak diakui. Tentu, karena kedudukan Rasul hanya dianggap sebagai tokoh
sejarah, bukan sebagai bagian dari as-Syâri’. Akibatnya, tindakan ‘Umar ketika
tidak memotong tangan pencuri yang mencuri pada tahun paceklik dianggap sebagai
tidak menerapkan hukum potong tangan. Padahal, ini bagian dari konteks
muthlaq-muqayyad. Dengan Rasul yang diposisikan sebagai tokoh historis, berarti
konteks mujmal-mubayyan juga tidak bisa mereka terima.
Dari sini jelas, bahwa kebobrokan tafsir
hermeneutika justru terletak pada kerangka epistemologisnya, ketika menolak
anggapan yang justru terjebak dengan anggapan. Dan, ini yang mereka akui
sendiri, atau seperti yang mereka sebut dengan hermeneutic circle. Masalah ini
terjadi, karena tafsir hermeneutika merupakan bagian dari metode berfikir rasional,
bukan metode ilmiah. Metode berfikir rasional, tidak bisa dipisahkan dari
anggapan atau informasi. Maka, kebobrokan tafsir hermeneutika justru terjadi
karena kebobrokan metode berfikirnya. Akibatnya, bangunan pemikiran yang lahir
dari kebobrokan ini penuh dengan kontradiksi dan inkonsistensi. Seperti
membangun obyektivitas tafsir, yang justru terjebak dengan subyektivitas
kontemplatif dan imaginer. Di sisi lain, teori interpretasi-epistemologis yang
lahir dari sumber non-syara’ ini tidak cukup untuk membaca teks al-Qur’an yang
bukan saja kitab berbahasa Arab, tetapi juga kitab tasyrî’. Maka, pemaksaan
al-Qur’an hanya sebagai kitab berbahasa Arab, atau buku sastra, dan bukan kitab
tasyrî’, bisa dipahami sebagai upaya untuk menundukkan al-Qur’an agar bisa
didekati dengan teori yang miskin ini.
3. Dampak Penggunaan Metode Hermeneutika
1. Merusak tatanan syariat (hukum) Islam yang
Telah Mapan secara keseluruhan
Dengan
kontekstualisasi maka beberapa hukum yang telah mahsyur menjadi batal. Misal
mengapa daging babi diharamkan? Maka harus dilihat konteksnya bukan hanya
teksnya. Secara sosio-ekonomis, daging babi haram karena babi adalah binatang
langka di arab ketika ayat itu diturunkan. Padahal babi saat ini adalah
binatang yang paling menguntungkan jika diternakkan, karena itu ternak babi
saat ini secara kontekstual “sosio-ekonomis adalah halal saat ini, karena
sangat maslahat bagi umat Islam. Lalu misalnya mengapa khamr diharamkan?secara
kontekstual, arab adala daerah panas, maka waja khamr diharamkan. Jika konteksnya
berubah (udara dingin) maka khamr bisa saja menjadi halal.
2. Al Qur’an menjadi tunduk pada akal
Al Qur’an
yang merupakan kalamullah menjadi sama dengan teks-teks lain pada umumnya yang
meniscayakan kontekstualisasi dan dengan demikian konstruksi wahyu menjadi
hilang. Al Qur’an dengan demikian bisa didekati dengan perspektif HAM,
Demokrasi, Gender Equality dan berbagai racun pemikiran lainya.
3. Runtuhnya Bangunan Keimanan/Tauhid Umat Islam
Hermeneutika
berangkat dari asumsi pemikiran dasar yakni tidak ada kebenaran mutlak,
kebenaran itu relatif. Dengan asumsi tersebut maka seluruh klaim kebenaran,
termasusk didalamnya adalah agama menjadi hilang atau harus dihilangkan.
Pemikiran inilah yang menjadi dasar atas munculnya paham pluralisme agama yang
haram.
Hermeneutika
sebagai bagian dari karya besar orientalisme telah berhasil, setidaknya
berhasil menciptakan hegemoni pengetahuan atas tafsir kitab suci termasuk Al
Qr’an. Sebagaimana tujuan dari orientalisme yang memang digunakan sebagai upaya
hegemoni barat-kristen atas dunia timur-Islam. Harapan besarnya tentu adalah
makin hilangnya kepercayaan/keyakinan umat Islam atas Islam itu sendiri.
4. Khatimah
a.
Hermenutika sebagai metode tafsir bible tidak
bisa diterapkan dalam menafsiri Al Qur’an karena 2 (dua) hal yakni bahwa (1)
teks al qur’an dan bible adalah tidak sama/berbeda dan (2) sejarah peradaban
kristen dan Islam yang juga berbeda
b.
Hermeneutika dalam bible bermula dari masalah
1)ketidakyakinan atas kesahihan teks bible oleh para ahli bible. 2) tidak
adanya laporan tentang tafsiaran yang boelh diterima umum, yakni ketiadaan
tradisi mutawatir dan ijma dan 3) tidak adanya sekelimpok manusia yang
menghaalnya.
c.
Secara epistemologis, hermeneutika ---sebagai
teori interpretasi-epistemologis---bukan dari Islam, tetapi merupakan produk
tsaqâfah Barat. Pengetahuan yang lahir dari akidah dan pandangan hidup yang
berbeda dengan Islam. Sebagai metode berfikir, hermeneutika justru mengalami
kebobrokan dari dalam, terutama ketika meniadakan anggapan-anggapan dasar, yang
notabene dibutuhkan oleh sebuah metode berfikir rasional seperti ini. Dan,
sebagai teori interpretasi-epistemologis, atau kaidah penafsiran, tafsir
hermeneutika hanya bisa digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an jika dibangun
berdasarkan angggapan yang salah terhadap al-Qur’an. Seperti anggapan, bahwa
al-Qur’an hanyalah produk budaya; al-Qur’an itu tunduk pada sejarah; al-Qur’an
itu kompilasi Kata Tuhan dan kata Muhammad; al-Qur’an ---karena kehendak
sejarah, bukan karena perintah Tuhan--- telah direduksi menjadi Corpus officiel
clos. Dari sinilah, lahir tahap-tahap pewahyuan Arkoun, yang dipengaruhi oleh
pandangan Paul Ricoeur itu. Begitu juga, ketika al-Qur’an hanya dianggap
sebagai kitab sastra Arab, dan bukan kitab tasyrî’, maka keterbatasan
hermeneutika itupun bisa digunakan untuk menjamah kitab suci ini. Namun, jika
anggapan terhadap al-Qur’an itu benar, teori epistema seperti ini pasti tidak
mempunyai tempat di sisi al-Qur’an yang mulia itu.
Di atas semuanya itu, seperti keinginan Arkoun, semuanya itu dimaksud untuk melakukan sinkretisme, agar nilai kebenaran kitab suci itu bisa diterima oleh semua “ahli kitab” (Yahudi, Nasrani dan Islam), atau mengkompromikan Islam dengan kekufuran.
Di atas semuanya itu, seperti keinginan Arkoun, semuanya itu dimaksud untuk melakukan sinkretisme, agar nilai kebenaran kitab suci itu bisa diterima oleh semua “ahli kitab” (Yahudi, Nasrani dan Islam), atau mengkompromikan Islam dengan kekufuran.
d.
Beberapa tokoh orientalis-hermeneutika di Indonesia
adalah Harun Nasution (aktor perubahan IAIN-PTAIN menjadi UIN dll), Nurcholis Madjid
keduanya merupakan murid langsung Fazlur Rahman (Mc Gill University, USA). Saat
ini dilanjutkan oleh Azyumardi Azra, Luthfi Asyaukani, Abdul Moqsith Ghozali, Ulil
Abshar Abdala dll (JIL).
e.
Hermeneutika sebenarnya tidak terlepas dari agenda
orientalis terhadap Islam. Antitesanya yakni oksidentalisme muncul tetapi tidak
se-dahsyat orientalisme. Karena memang oksidentalisme tidak dalam rangka counter
hegemonic tetapi lebih pada penyeimbang hegemoni orientalisme yang didukung dengan
dana tak terbatas oleh barat-kristen. Semoga ALLAH senantiasa lindungi kita, keluarga
dan ummat Islam dari racun – racun pemikiran dan ALLAH juga segera menurunkan pertolongannya
bagi tegaknya Syariah dan Khilafah,aamiin yaa robbal ‘alamin. Wallahu’alam bishowab.[]
Disarikan dari berbagai sumber.