Wednesday, 12 December 2012

Parkir yang Kian Tak Jelas


Menyoal “Instansi” Parkir Instansi
Berbicara tentang parkir di Yogyakarta tak lepad dari berbagai persoalan, dari tentang keterbatasan lahan, kenakalan juru parkirnya, serta keberadaan parkir gelap (illegal). Dalam konteks parkir illegal, salah satu persoalan yang cukup mengemuka dan membuat jengah dalam konteks pengelolaan parkir di Yogyakarta adalah pengelolaan perparkiran di wilayah instansi negara. Di beberapa instansi ditemui “instansi” (pengelola) parkir sebuah instansi.
Fenomena penarikan retribusi parkir di wilayah instansi negara sudah sungguh sangat meresahkan, karena saat ini hampir diseluruh instansi negara seperti Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), pengadilan, dan bahkan termasuk di kepolisian diterapkan pengenaan tarif parkir bagi semua pengunjung. Yang lebih meresahkan adalah, para pengelola parkir tersebut tidak memiliki karcis parkir resmi dari pemerintah dan besaran tarif yang diberlakukan pun seenaknya. Pernah dalam pengalaman penulis melakukan kunjungan di salah satu instansi yudikatif di Yogyakarta. Ketika pertama kali melakukan kunjungan ke instansi tersebut, penulis tidak memberikan uang parkir kepada penjaganya karena ketika itu penulis berpikir bahwa penulis berada di wilayah instansi dan juga tidak ada orang yang berseragam tukang parkir disana, tapi atas peristiwa itu oleh sesorang yang bisa jadi adalah yang mengelola parkir disana, penulis mendapatkan umpatan. Pada kunjungan yang kali kedua, penulis akhirnya memberikan uang lima ratus rupiah dan diterima dengan baik oleh penjaganya, dan berikutnya pernah suatu kali penulis memberikan uang seribu rupiah juga diterima dan tidak diberikan uang kembalian oleh tukang parkirnya. Bisa dibayangkan jika dalam rutinitas kerja kita sering melakukan kunjungan ke instansi tersebut, berapa pengeluaran yang harus dikeluarkan hanya untuk urusan parkir saja.
Pengelola inilah yang menjadi masalah, karena banyak diantaranya bahkan mungkin semuanya, yang tidak jelas statusnya. Parameternya jelas, yakni karcis parkir (kalau misalnya memakai karcis parkir) yang tidak resmi, tarif parkir yang relatif, alias sekenanya dan petugas parkir yang tidak mengenakan pakaian resmi juru parkir. Dengan kondisi demikian maka kiranya layak bagi konsumen parkir yang mempertanyakan hal ini termasuk diantaranya penulis, karena hal ini terkait erat dengan pertanggungjawaban keamanan kendaraan dan barang – barang yang ada didalamnya dan terutama kenyamanan para pengunjung. Ini semua tentunya termasuk dalam bingkai besar pelayanan publik.
Terkait dengan persoalan pengelolaan perparkiran di Instansi ini, ada beberapa hal terkait yang menuntut untuk segera diseleseikan. Pertama, aspek legalitas keberadaan para pengelola parkir di instansi. Hal ini menjadi penting untuk segera diperjelas karena ketidaklegalan ini berdampak pada ketidakjelasan pengelolaan retribusi yang didapatkan oleh pengelola parkir tersebut. Siapa yang bertanggungjawab, sejauh mana tanggungjawab terkait dengan perparkiran (barang hilang dan sebagainya), dan kemana uang hasil parkir tersebut. Kalau memang hal ini dilegalkan maka seharusnya aspek – aspek legalitas parkir tersebut harus diperjelas pula, misalnya keberadaan karcis, seragam juru pakir dan sebagainya. Kedua, jika memang tidak ada dasar hukum terkait dengan pengelolan perparkiran di instansi pemerintah maka seharusnya segera dilakukan penertiban (law enforcment) terkait hal ini. Sehingga masyarakat juga jelas dengan dana yang mereka keluarkan. Dalam konteks instansi, seluruh instansi harusnya dibersihkan dari parkir illegal, kalau misalnya dibutuhkan pengaturan parkir seharusnya menjadi bagian dari tanggungjawab instansi terkait bukan dengan membiarkan tumbuh suburnya parkir illegal yang sesungguhnya semakin memperburuk citra pelayanan publik di negeri ini.




No comments:

Post a Comment