Menyoal
“Instansi” Parkir Instansi
Berbicara tentang parkir di
Yogyakarta tak lepad dari berbagai persoalan, dari tentang keterbatasan lahan,
kenakalan juru parkirnya, serta keberadaan parkir gelap (illegal). Dalam konteks parkir illegal, salah satu persoalan yang
cukup mengemuka dan membuat jengah dalam konteks pengelolaan parkir di
Yogyakarta adalah pengelolaan perparkiran di wilayah instansi negara. Di
beberapa instansi ditemui “instansi” (pengelola) parkir sebuah instansi.
Fenomena penarikan retribusi
parkir di wilayah instansi negara sudah sungguh sangat meresahkan, karena saat
ini hampir diseluruh instansi negara seperti Satuan Kerja Pemerintah Daerah
(SKPD), pengadilan, dan bahkan termasuk di kepolisian diterapkan pengenaan
tarif parkir bagi semua pengunjung. Yang lebih meresahkan adalah, para
pengelola parkir tersebut tidak memiliki karcis parkir resmi dari pemerintah
dan besaran tarif yang diberlakukan pun seenaknya. Pernah dalam pengalaman
penulis melakukan kunjungan di salah satu instansi yudikatif di Yogyakarta. Ketika
pertama kali melakukan kunjungan ke instansi tersebut, penulis tidak memberikan
uang parkir kepada penjaganya karena ketika itu penulis berpikir bahwa penulis
berada di wilayah instansi dan juga tidak ada orang yang berseragam tukang
parkir disana, tapi atas peristiwa itu oleh sesorang yang bisa jadi adalah yang
mengelola parkir disana, penulis mendapatkan umpatan. Pada kunjungan yang kali
kedua, penulis akhirnya memberikan uang lima ratus rupiah dan diterima dengan
baik oleh penjaganya, dan berikutnya pernah suatu kali penulis memberikan uang
seribu rupiah juga diterima dan tidak diberikan uang kembalian oleh tukang
parkirnya. Bisa dibayangkan jika dalam rutinitas kerja kita sering melakukan
kunjungan ke instansi tersebut, berapa pengeluaran yang harus dikeluarkan hanya
untuk urusan parkir saja.
Pengelola inilah yang
menjadi masalah, karena banyak diantaranya bahkan mungkin semuanya, yang tidak
jelas statusnya. Parameternya jelas, yakni karcis parkir (kalau misalnya
memakai karcis parkir) yang tidak resmi, tarif parkir yang relatif, alias
sekenanya dan petugas parkir yang tidak mengenakan pakaian resmi juru parkir. Dengan
kondisi demikian maka kiranya layak bagi konsumen parkir yang mempertanyakan
hal ini termasuk diantaranya penulis, karena hal ini terkait erat dengan
pertanggungjawaban keamanan kendaraan dan barang – barang yang ada didalamnya
dan terutama kenyamanan para pengunjung. Ini semua tentunya termasuk dalam
bingkai besar pelayanan publik.
Terkait dengan persoalan
pengelolaan perparkiran di Instansi ini, ada beberapa hal terkait yang menuntut
untuk segera diseleseikan. Pertama, aspek
legalitas keberadaan para pengelola parkir di instansi. Hal ini menjadi penting
untuk segera diperjelas karena ketidaklegalan ini berdampak pada ketidakjelasan
pengelolaan retribusi yang didapatkan oleh pengelola parkir tersebut. Siapa
yang bertanggungjawab, sejauh mana tanggungjawab terkait dengan perparkiran
(barang hilang dan sebagainya), dan kemana uang hasil parkir tersebut. Kalau
memang hal ini dilegalkan maka seharusnya aspek – aspek legalitas parkir
tersebut harus diperjelas pula, misalnya keberadaan karcis, seragam juru pakir
dan sebagainya. Kedua, jika memang
tidak ada dasar hukum terkait dengan pengelolan perparkiran di instansi
pemerintah maka seharusnya segera dilakukan penertiban (law enforcment) terkait hal ini. Sehingga masyarakat juga jelas
dengan dana yang mereka keluarkan. Dalam konteks instansi, seluruh instansi
harusnya dibersihkan dari parkir illegal,
kalau misalnya dibutuhkan pengaturan parkir seharusnya menjadi bagian dari
tanggungjawab instansi terkait bukan dengan membiarkan tumbuh suburnya parkir illegal yang sesungguhnya semakin
memperburuk citra pelayanan publik di negeri ini.
No comments:
Post a Comment