Wednesday, 9 January 2013


Mengapa Demokrasi Disebut Bertentangan Dengan Islam?
(oleh : Kurdi Abu Jundi)

Lengsernya Soeharto dari tampuk kepemimpinan orde baru pada Mei 1998 telah membawa perubahan besar pada ranah kehidupan Indonesia sekaligus menandai diawalinya era orde reformasi. Sebuah orde dimana letak pengharapan atas perikehidupan berbangsa dalam segala sendi kehidupan yang lebih baik (welfare state) ditumpukan. Akan tetapi setelah lebih dari sepuluh tahun berjalan, era orde reformasi ternyata belum mampu atau kalau tidak boleh dikatakan gagal memenuhi pengharapan yang besar yang ditumpukan kepadanya.

Perubahan yang terjadi ternyata hanya dimaknai pada perubahan politik kekuasaan dengan fokus pada pergantian rezim kepemimpinan. Sehingga fenomena yang kita temukan kemudian adalah fenomena pemilihan umum langsung di mana – mana, baik pada level nasional, provinsi, kabupaten/kota, desa bahkan sampai pada level paling rendah yakni Rukun Tetangga (RT). Tercatat sudah terjadi 320 kali pilkada dalam rentang waktu 3 tahun terakhir, yang jika dirata – rata maka pilkada terjadi dalam rentang waktu 3 hari sekali (Kompas, 24/6/2008).

Sebuah pemaknaan berdemokrasi yang kemudian membawa konsekuensi pembiayaan yang terlalu mahal jika menilik esensinya yakni menuju kesejahteraan rakyat (welfare people). Pembiayaan untuk pemilihan – pemilihan langsung yang akan, telah, sedang terjadi baik di tingkat nasional maupun daerah ternyata memang menelan biaya yang tidak sedikit. Pemilu Nasional 2009 dianggarkan dana sebesar 22 Triliun itupun setelah terjadi pemangkasan. KPU Pusat sebelumnya mengajukan dana pemilu sebesar 47,9 Trilliun. Sementara itu dana pilkada di beberapa daerah juga menelan biaya yang tidak sedikit. Dari data yang penulis dapatkan dari berbagai sumber menunjukkan bahwa untuk mengantarkan Fauzi Bowo (Foke) menjadi Gubernur DKI, KPUD DKI telah menghabiskan dana 124 miliar, Pilkada Jawa Barat yang menghantarkan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf menjadi gubernur dan wakil gubernur telah menelan dana sekitar 328 milliar, beruntung tidak terjadi dua kali putaran karena jika terjadi pilkada putaran kedua diprediksi akan menelan biaya sekitar 696 Milliar, kemudian pilkada Jawa Tengah juga telah menelan dana sekitar 400 milliar. Pilkada Jawa Timur yang telah berlangsung pada 23 Juli 2008 diperkirakan menelan dana 1 trilliun.

Maka bisa dibayangkan berapa dana yang dikeluarkan jika terdapat 33 propinsi dan lebih kurang 400-an kabupaten/ kota, belum termasuk daerah pemekaran baru, diseluruh Indonesia. Tentunya akan didapat sebuah angka yang sangat besar jika dibandingkan dengan kondisi real masyarakat dan substansi perhelatan tersebut. Anda bisa bandingkan dengan anggaran Kementerian Pengentasan Desa Tertinggal yang tidak sampai 1 triliun untuk satu tahun anggaran (APBN 2010).

Hal ini merupakan satu hal yang harus dan patut menjadi catatan penting, mengapa? Karena ditengah kemiskinan yang kian merajalela, anggaran yang begitu besar tentunya menjadi kontraproduktif dari esensi pemilihan umum langsung itu sendiri. Karena toh sejatinya pemilu ataupun pilkada yang diselenggarakan hanyalah salah satu cara, yang itu berarti ada cara lain, untuk memilih pemimpin. Substansi sebenarnya adalah bagaimana mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Selain itu, pemilu baik nasional ataupun daerah juga telah jamak membawa resiko. Selain resiko konflik horisontal ada resiko lain yang merupakan resiko besar lainya yakni ketika pemimpin yang telah terpilih tak lagi menepati janji – janji kesejahteraan yang telah mereka umbar pada masa kampanye mereka. Para pemimpin yang telah terpilih akhirnya cenderung lebih memilih mensejahterakan kolega dan keluarganya sendiri dari pada rakyat pada umumnya. Janji – janji pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yakni pendidikan, kesehatan dan keamanan serta pemenuhan kebutuhan dasar pribadi yakni sandang, pangan dan papan tinggalah janji – janji yang kian jauh dari realitasnya.

Untuk itu berarti rakyat telah kehilangan sumber daya (uang, tenaga dan pikiran) untuk memilih pemimpin yang membohongi mereka. Siapa yang menanggung resiko tersebut?? lagi – lagi rakyatlah yang harus menanggung. Ini bisa dengan gamblang kita lihat faktanya dalam pembelian mobil dinas toyota crown royal salon beberapa waktu lalu bagi para pejabat Negara yang masing – masingnya harganya adalah 1,3 Triliun, atau pembelian catamaran lagoon, kapal yang dibeli oleh kementerian kelautan dan perikanan untuk patroli laut, yang lebih mirip kapal pesiar, seharga 14 milliar atau rencana pembelian pesawat kepresidenan yang uang mukanya saja 200 milliar, belum lagi kenaikan gaji anggota DPR dan pejabat negara.

Walhasil, pemaknaan perubahan yang hanya berkutat pada politik kekuasaan merupakan pemaknaan perubahan yang dangkal. Yang itu berarti kita selama 10 tahun ini telah gagal mendefinisikan dan mengidentifikasi masalah, sehingga jangan heran ketika solusi yang ditawarkan ataupun dipakai hari ini dikemudian hari ternyata adalah bagian dari masalah itu sendiri.

Berpikir Pada Akar Masalah
Dari fenomena tersebut, bagi orang yang berpikir, ini tentunya harus ada aktivitas kritis dan berpikir mendalam atas apa yang sesungguhnya terjadi, tidak lagi hanya berpikir pada level permukaan tapi harus sampai pada akar permasalahan, sehingga bisa didapatkan solusi akar (fundamental) pula. Pertanyaan seperti apakah demokrasi sudah shahih menuju kesejahteraan yang dicita - citakan, kenapa dengan demokrasi terkesan justru menjadi carut marut? Apakah pemilu adalah demokrasi dan sebaliknya?

Kita mestinya tidak tabu untuk mengangkat pertanyaan – pertanyaan tersebut, dan kemudian pertanyaan – pertanyaan kritis – obyektif tersebut kita urai lebih dalam sehingga kita bisa mendapatkan solusi hakiki persoalan hidup dalam ranah individu, bermasyarakat dan bernegara. Yang itu semuanya sungguh berujung pada terpenuhinya kebutuhan hidup individu yakni sandang, pangan dan papan dan kebutuhan masyarakat yakni pendidikan, kesehatan dan keamanan dan termasuk diantaranya adalah kebutuhan lain yang mungkin ada yang bisa jadi kita lupakan diluar yang tersebut diatas.

Makna Kesejahteraan
Kemiskinan berarti tidak terpenuhinya kebutuhan – kebutuhan pokok yang dituntut dalam kehidupan agar dapat hidup layak.1 Masyarakat ideal adalah ketika seluruh individunya terbebas dari kemiskinan. Seluruh kebutuhan pokok tercukupi dan kebutuhan pelengkap sesuai dengan kemampuan masing – masing terbuka untuk dapat diupayakan terpenuhi pula2. Sehingga dengan demikian makna kesejahteraan bisa diartikan secara minimal dengan terpenuhinya kebutuhan dasar individu (sandang, pangan dan papan) dan kebutuhan dasar masyarakat (pendidikan dan kesehatan) serta kemungkinan untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Sehingga dengan demikian orang/masyarakat dikatakan tidak sejahtera/miskin ketika kebutuhan dasar individu dan kebutuhan dasar sebagai bagian dari masyarakat tidak terpenuhi.

Dalam konteks inilah yang menjadi tujuan dari bernegara atau dibentuknya pemerintahan, yakni menghantarkan masyarakatnya menjadi masyarakat yang sejahtera. Dari sana kemudian dibuat aturan – aturan (sistem) untuk merekayasa proses bernegara sehingga tujuan bernegara itu bisa dicapai.

Ideologi Sebagai Dasar Munculnya Sistem
Harus dipahami bahwa sistem (kumpulan dari berbagai aturan/undang – undang) pasti memiliki landasan berpikir (ideologi). Tidak mungkin sebuah aturan tidak memiliki landasan ideologi yang jelas. Contohnya kemunculan Undang – Undang Penanaman Modal, Undang Sumber Daya Air sangat jelas memiliki landasan idologi Kapitalisme, hal ini bisa dilihat dari aturan kepemilikan yang dibebaskan individu untuk memiliki asalkan memiliki modal yang cukup. Tentunya hal ini bertentangan dengan ideologi Islam yang memandang bahwa air merupakan kepemilikan umum yang tidak boleh dimiliki oleh individu.

Hal ini menyiratkan bahwa setiap aturan/ undang – undang yang ditetapkan memiliki dimensi pandangan hidup (ideology) yang khas, apakah aturan tersebut memiliki pandangan (ideology) kapitalisme, sosialisme – komunisme ataukah Islam.

Demokrasi, Alat Politik kapitalisme
Demokrasi seperti digembar – gemborkan oleh para pemujanya disebut sebagai pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Secara faktual sesungguhnya hal ini sudah cacat, karena tidak mungkin hal ini bisa terlaksana karena tidak mungkin seluruh masyrakat memerintah. Oleh karenanya dibuatlah mekanisme perwakilan, dengan asumsi bahwa rakyat memilih wakilnya dan kemudian wakilnya akan mewakili dan menyuarakan suara rakyat/ konstituenya. Hal ini pun secara faktual juga tidak menemukan faktanya karena jamak terjadi para wakil rakyat tersebut justru mewakili dirinya sendiri atau minimal kepentingan golonganya sendiri.

Terkait dengan ini kita bisa melihat diagram berikut ini



Dengan memahami diagram diatas dapat kita pahami bersama bahwa sesungguhnya yang berdaulat adalah para kapitalis bukan rakyat seperti yang didengung – dengungkan. Karena mekanisme dalam demokrasi memang dibuat supaya melanggengkan kapitalisme itu sendiri. Hal ini terlihat bagaimana pola hubungan antara partai politik, calon penguasa dengan kapitalis pada saat pemilu digelar.

Pada saat itu dibangunlah deal – deal politik dengan durasi waktu tertentu, missal periode 5 tahunan dan sebagainya. Sehingga wajar jika para wakil rakyat atau para penguasa terpilih tidak akan sepenuhnya mengurusi rakyatnya, mereka akan sibuk melunasi hutang budi maupun hutang harta yang telah mereka buat dengan para pemodal/kapitalis. Fakta ini bisa kita lihat bahwa akan sangat sulit kita menemukan wakil rakyat atau penguasa tanpa memiliki dukungan keuangan (financial) yang cukup, bahkan tidak jarang mereka – mereka yang menjadi wakil rakyat adalah para pengusaha atau kapitalis itu sendiri.Mereka membajak Negara melalui cara seolah – olah baik/halal dengan secara langsung atau menggunakan dan atau menciptakan figure – figure yang disukai rakyat.

Demokrasi Sebagai Alat Menuju Kesejahteraan??
Bagi orang yang berpikir jernih tentunya dengan mudah bisa menjawab pertanyaan ini. Kalau dikatakan bahwa demokrasi berkorelasi ppsitif terhadap kesejahteraan jawabanya iya bagi sebagian kecil masyarakat tetapi TIDAK bagi sebagain besar masyarakat. Karena sesungguhnya yang berdaulat adalah para kapitalis/pemodal besar, mengingat dialah yang membiayai partai (lihat kembali diagram diatas).

Mengapa Demokrasi disebut system yang bertentangan dengan Islam?
Hari ini demokrasi seolah menjadi kebenaran yang harus terus diperjuangkan dan tidak bertentangan dengan Islam. Sehingga denganya kita bisa dapati, bahkan banyak, orang – orang Islam yang memperjuangkan demokrasi tanpa tahu essensi demokrasi itu sendiri.Mereka mengatakan substansi tetapi tidak mengerti substansi dari demokrasi.

Uraian berikut berusaha untuk memberikan pandangan terkait dengan teori demokrasi dan sekaligus mencoba menelaah letak kesalahan dan perbedaan yang mencolok dalam Islam sehingga harus ditolak penerapan dan penyebaranya..

Demokrasi berasal dari kata demos=rakyat dan kratos=pemerintahan. Sehingga makna gampangnya adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat..Indah ya kedengaranya...Konsep ini berangkat dari asumsi bahwa yang paling mngerti kebutuhan rakyat adalah rakyat itu sendiri.

Akan tetapi yang paling penting dari demokrasi adalah konsep kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat. Inilah jantung/ essensi dari demokrasi sebenarnya.

Terus apa yang salah?
Begini, kita harus uraikan dulu makna kekuasaan dan kedaulatan. Kekuasaan bisa dimaknai secara gampang adalah siapa yang melaksanakan pmerintahan, sedangkan kedaulatan adalah siapa yang berhak membuat hukum. Makanya dalam demokrasi muncul sebuah jargon ”suara rakat, suara Tuhan/ vox populi vox dei”. Nah disinilah perbedaan signifikan antara sistem Islam dengan demokrasi. Artinya dalam sistem Islam, kekuasaan ada di tangan rakyat, akan tetapi  kedaulatan ada di tangan syara’, artinya yang berhak membuat hukum adalah Allah SWT, bukan rakyat (yang terepresentasikan dalam perwakilan rakyat) seperti yang terjadi dalam demokrasi. Lebih jelasnya liat diagram berikut ini :


Dari diagram diatas bisa kita lihat dengan sangat gamblang perbedaan turunnya sebuah hukum/aturan/undang – undang (aspek kedaulatan) dalam demokrasi maupun dalam Islam termasuk siapa yang memiliki hak untuk itu.

Makna hukum adalah aturan/undang – undang. Nah dalam undang – undang ini kemudian diatur segala hal yang terkait dengan segala aktivitas perikehidupan manusia baik pada level individu, masyarakat maupun negara. Undang – undang inilah yang menjadi standar kebenaran, sehingga bisa kita dapati dalam sistem sekarang akan ada orang yang dikenai sanksi baik itu penjara atau denda ketika dia melanggar undang – undang, baik itu kemudian bentuknya pidana atau perdata.

Dalam demokrasi, perwakilan rakyatlah (baca: manusia/orang) yang berhak untuk membuat hukum dalam forum/lembaga yang disebut DPR, melalui proses kompromistik dan atau voting (suara terbanyak). Sumber hukum yang dipakai dalam demokrasi intinya berasal dari manusia, baik itu melalui apa yang disebut nilai – nilai/pendapat masyarakat, adat istiadat, tradisi dan bias jadi sebagian agama, dan sebagainya.

Hal ini berbeda dengan Islam, dalam Islam yang berhak membuat hukum adalah Allah SWT yang termanifestasikan dalam Al – Qur’an dan Hadist, dari sanalah digali berbagai hukum yang terkait dengan aktivitas manusia dalam berbagai level kehidupan, yang kemudian menjadi hukum positif melalui proses ijtihad kemudian dilegislasi oleh kholifah yang kemudian dalam dunia modern disebut dengan undang – undang. Al – Qur’an dan Hadist dalam hal ini dengan kata lain merupakan konstitusi umum kaum muslimin. Walaupun tetap yang melakukan (actor) penggalian hokum/ijtihad adalah manusia, akan tetapi sumber hokum, proses penggalian hokum dan legislasi hokum tampak jelas sekali berbeda.

Maka dalam demokrasi kita bisa menemukan sesuatu/aktivitas yang jelas telah diharamkan oleh Allah SWT bisa menjadi hukumnya boleh. Misalnya minuman keras (khamr). Khamr telah jelas haram hukumnya tanpa terkecuali, tetapi bisa kita temui saat ini bahwa minuman keras adalah juga termasuk barang ekonomi sehingga bisa kita temui adanya pabrik minuman keras, yang tentunya legal (halal) karena ada aturanya dan mereka ditarik pajak secara rutin oleh pemerintah. Misal kedua adalah pornografi. Dalam Islam pornografi dan atau pornoaksi adalah haram tanpa terkecuali, akan tetapi bisa kita dapatkan bahwa dalam demokrasi pornografi adalah dibolehkan dengan syarat tertentu, misalnya harus diatas 17 tahun atau jika terkait dengan adat – istiadat maka dibolehkan.

Dari perbedaan ini lah bisa kita lihat bahwa DPR (baca; manusia) telah menjadi menjelma Tuhan baru, telah merampas otoritas/hak Allah untuk membuat hukum dan disinilah letak kekufuran nya. Hal ini persis yang digambarkan oleh Allah dalam Q.S At Taubah 31.

” Mereka menjadikan orang – orang alimnya dan rahib – rahib mereka menjadi Tuhan mereka selain Allah”

Perbedaan yang kedua, prinsip suara terbanyak juga bertentangan dalam Islam, karena dalam konteks perumusan dan pengesahan  undang – undang dalam demokrasi (yang notabene adalah standar kebenaran yang akan disahkan) di hasilkan melalui kompromi dan suara yang paling banyak, padahal suara terbanyak itu belum tentu kebenaran. Kebenaran walaupun diemban oleh satu orang akan tetap kebenaran walaupun ditentang oleh banyak orang.

Hal ini karena dalam demokrasi – sekuler, pijakan penentuan nilai kebenaran adalah kompromistis alias digali dari berbagai perspektif manusia yang notabene terbatas. Kebenaran/kebaikan hari ini belum tentu kebenaran/kebaikan di masa yang akan datang, jika diserahkan kepada manusia (karena manusia terbatas tadi). Dengan demikian maka kebenaran yang dihasilkan menjadi kebenaran yang relatif. Sementara dalam Islam, pijakannya jelas yakni aturan yang diturunkan oleh Allah SWT, Al-Qur’an dan sunnah, semuanya digali dan bersumber dari sana. Sehingga kalo ada pertentangan, ya tinggal kuat – kuatan dalil (quwwatu dalil) bukan dalih.

1 comment:

  1. Casino Roll: Casino Roll | Review of a Player
    A complete review of casino 스포츠스코어 Roll, including 오늘 뭐 먹지 룰렛 the 마이크로 게이밍 latest bonuses, games, payouts, and promotions 토토 배당률 for players, here at av 보는 곳 Casino Roll.

    ReplyDelete