Mengapa Demokrasi Disebut Bertentangan
Dengan Islam?
(oleh : Kurdi Abu Jundi)
Lengsernya Soeharto dari tampuk
kepemimpinan orde baru pada Mei 1998 telah membawa perubahan besar pada ranah
kehidupan Indonesia sekaligus menandai diawalinya era orde reformasi. Sebuah
orde dimana letak pengharapan atas perikehidupan berbangsa dalam segala sendi
kehidupan yang lebih baik (welfare state) ditumpukan. Akan tetapi setelah
lebih dari sepuluh tahun berjalan, era orde reformasi ternyata belum mampu atau
kalau tidak boleh dikatakan gagal memenuhi pengharapan yang besar yang
ditumpukan kepadanya.
Perubahan yang terjadi ternyata hanya
dimaknai pada perubahan politik kekuasaan dengan fokus pada pergantian rezim
kepemimpinan. Sehingga fenomena yang kita temukan kemudian adalah fenomena pemilihan
umum langsung di mana – mana, baik pada level nasional, provinsi,
kabupaten/kota, desa bahkan sampai pada level paling rendah yakni Rukun
Tetangga (RT). Tercatat sudah terjadi 320 kali pilkada dalam rentang waktu 3
tahun terakhir, yang jika dirata – rata maka pilkada terjadi dalam rentang
waktu 3 hari sekali (Kompas, 24/6/2008).
Sebuah pemaknaan berdemokrasi yang
kemudian membawa konsekuensi pembiayaan yang terlalu mahal jika menilik
esensinya yakni menuju kesejahteraan rakyat (welfare people). Pembiayaan
untuk pemilihan – pemilihan langsung yang akan, telah, sedang terjadi baik di
tingkat nasional maupun daerah ternyata memang menelan biaya yang tidak sedikit.
Pemilu Nasional 2009 dianggarkan dana sebesar 22 Triliun itupun setelah terjadi
pemangkasan. KPU Pusat sebelumnya mengajukan
dana pemilu sebesar 47,9 Trilliun. Sementara itu dana pilkada di beberapa
daerah juga menelan biaya yang tidak sedikit. Dari data yang penulis dapatkan
dari berbagai sumber menunjukkan bahwa untuk mengantarkan Fauzi Bowo (Foke)
menjadi Gubernur DKI, KPUD DKI telah menghabiskan dana 124 miliar, Pilkada Jawa
Barat yang menghantarkan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf menjadi gubernur dan
wakil gubernur telah menelan dana sekitar 328 milliar, beruntung tidak terjadi
dua kali putaran karena jika terjadi pilkada putaran kedua diprediksi akan
menelan biaya sekitar 696 Milliar, kemudian pilkada Jawa Tengah juga telah menelan
dana sekitar 400 milliar. Pilkada Jawa Timur yang telah berlangsung pada 23
Juli 2008 diperkirakan menelan dana 1 trilliun.
Maka bisa dibayangkan berapa dana yang
dikeluarkan jika terdapat 33 propinsi dan lebih kurang 400-an kabupaten/ kota,
belum termasuk daerah pemekaran baru, diseluruh Indonesia. Tentunya akan
didapat sebuah angka yang sangat besar jika dibandingkan dengan kondisi real masyarakat dan substansi perhelatan
tersebut. Anda bisa bandingkan dengan anggaran Kementerian Pengentasan Desa
Tertinggal yang tidak sampai 1 triliun untuk satu tahun anggaran (APBN 2010).
Hal ini merupakan satu hal yang harus
dan patut menjadi catatan penting, mengapa? Karena ditengah kemiskinan yang
kian merajalela, anggaran yang begitu besar tentunya menjadi kontraproduktif
dari esensi pemilihan umum langsung itu sendiri. Karena toh sejatinya
pemilu ataupun pilkada yang diselenggarakan hanyalah salah satu cara, yang itu
berarti ada cara lain, untuk memilih pemimpin. Substansi sebenarnya adalah bagaimana mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Selain itu, pemilu baik nasional
ataupun daerah juga telah jamak membawa resiko. Selain resiko konflik
horisontal ada resiko lain yang merupakan resiko besar lainya yakni ketika
pemimpin yang telah terpilih tak lagi menepati janji – janji kesejahteraan yang
telah mereka umbar pada masa kampanye mereka. Para pemimpin yang telah terpilih
akhirnya cenderung lebih memilih mensejahterakan kolega dan keluarganya sendiri
dari pada rakyat pada umumnya. Janji – janji pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat
yakni pendidikan, kesehatan dan keamanan serta pemenuhan kebutuhan dasar
pribadi yakni sandang, pangan dan papan tinggalah janji – janji yang kian jauh
dari realitasnya.
Untuk itu berarti rakyat telah
kehilangan sumber daya (uang, tenaga dan pikiran) untuk memilih pemimpin yang
membohongi mereka. Siapa yang menanggung resiko tersebut?? lagi – lagi rakyatlah
yang harus menanggung. Ini bisa dengan gamblang kita lihat faktanya dalam
pembelian mobil dinas toyota crown royal salon beberapa waktu lalu bagi para
pejabat Negara yang masing – masingnya harganya adalah 1,3 Triliun, atau
pembelian catamaran lagoon, kapal
yang dibeli oleh kementerian kelautan dan perikanan untuk patroli laut, yang
lebih mirip kapal pesiar, seharga 14 milliar atau rencana pembelian pesawat
kepresidenan yang uang mukanya saja 200 milliar, belum lagi kenaikan gaji
anggota DPR dan pejabat negara.
Walhasil, pemaknaan perubahan yang
hanya berkutat pada politik kekuasaan merupakan pemaknaan perubahan yang
dangkal. Yang itu berarti kita selama 10 tahun ini telah gagal mendefinisikan
dan mengidentifikasi masalah, sehingga jangan heran ketika solusi yang
ditawarkan ataupun dipakai hari ini dikemudian hari ternyata adalah bagian dari
masalah itu sendiri.
Berpikir
Pada Akar Masalah
Dari fenomena tersebut, bagi orang yang
berpikir, ini tentunya harus ada aktivitas kritis dan berpikir mendalam atas
apa yang sesungguhnya terjadi, tidak lagi hanya berpikir pada level permukaan
tapi harus sampai pada akar permasalahan, sehingga bisa didapatkan solusi akar
(fundamental) pula. Pertanyaan seperti apakah demokrasi sudah shahih
menuju kesejahteraan yang dicita - citakan, kenapa dengan demokrasi terkesan
justru menjadi carut marut? Apakah pemilu adalah demokrasi dan sebaliknya?
Kita mestinya tidak tabu untuk
mengangkat pertanyaan – pertanyaan tersebut, dan kemudian pertanyaan –
pertanyaan kritis – obyektif tersebut kita urai lebih dalam sehingga kita bisa
mendapatkan solusi hakiki persoalan hidup dalam ranah individu, bermasyarakat
dan bernegara. Yang itu semuanya sungguh berujung pada terpenuhinya kebutuhan
hidup individu yakni sandang, pangan dan papan dan kebutuhan masyarakat yakni
pendidikan, kesehatan dan keamanan dan termasuk diantaranya adalah kebutuhan
lain yang mungkin ada yang bisa jadi kita lupakan diluar yang tersebut diatas.
Makna Kesejahteraan
Kemiskinan berarti tidak terpenuhinya
kebutuhan – kebutuhan pokok yang dituntut dalam kehidupan agar dapat hidup
layak.1 Masyarakat ideal adalah ketika seluruh individunya terbebas
dari kemiskinan. Seluruh kebutuhan pokok tercukupi dan kebutuhan pelengkap
sesuai dengan kemampuan masing – masing terbuka untuk dapat diupayakan
terpenuhi pula2. Sehingga dengan demikian makna kesejahteraan bisa
diartikan secara minimal dengan terpenuhinya kebutuhan dasar individu (sandang,
pangan dan papan) dan kebutuhan dasar masyarakat (pendidikan dan kesehatan)
serta kemungkinan untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Sehingga
dengan demikian orang/masyarakat dikatakan tidak sejahtera/miskin ketika
kebutuhan dasar individu dan kebutuhan dasar sebagai bagian dari masyarakat
tidak terpenuhi.
Dalam konteks inilah yang menjadi
tujuan dari bernegara atau dibentuknya pemerintahan, yakni menghantarkan
masyarakatnya menjadi masyarakat yang sejahtera. Dari sana kemudian dibuat
aturan – aturan (sistem) untuk merekayasa proses bernegara sehingga tujuan
bernegara itu bisa dicapai.
Ideologi Sebagai Dasar Munculnya Sistem
Harus dipahami bahwa sistem (kumpulan
dari berbagai aturan/undang – undang) pasti memiliki landasan berpikir
(ideologi). Tidak mungkin sebuah aturan tidak memiliki landasan ideologi yang
jelas. Contohnya kemunculan Undang – Undang Penanaman Modal, Undang Sumber Daya
Air sangat jelas memiliki landasan idologi Kapitalisme, hal ini bisa dilihat
dari aturan kepemilikan yang dibebaskan individu untuk memiliki asalkan
memiliki modal yang cukup. Tentunya hal ini bertentangan dengan ideologi Islam
yang memandang bahwa air merupakan kepemilikan umum yang tidak boleh dimiliki
oleh individu.
Hal ini menyiratkan bahwa setiap
aturan/ undang – undang yang ditetapkan memiliki dimensi pandangan hidup
(ideology) yang khas, apakah aturan tersebut memiliki pandangan (ideology)
kapitalisme, sosialisme – komunisme ataukah Islam.
Demokrasi,
Alat Politik kapitalisme
Demokrasi seperti digembar – gemborkan
oleh para pemujanya disebut sebagai pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan
untuk rakyat. Secara faktual sesungguhnya hal ini sudah cacat, karena tidak
mungkin hal ini bisa terlaksana karena tidak mungkin seluruh masyrakat
memerintah. Oleh karenanya dibuatlah mekanisme perwakilan, dengan asumsi bahwa
rakyat memilih wakilnya dan kemudian wakilnya akan mewakili dan menyuarakan
suara rakyat/ konstituenya. Hal ini pun secara faktual juga tidak menemukan
faktanya karena jamak terjadi para wakil rakyat tersebut justru mewakili
dirinya sendiri atau minimal kepentingan golonganya sendiri.
Terkait dengan ini kita bisa melihat
diagram berikut ini
Dengan memahami diagram diatas dapat
kita pahami bersama bahwa sesungguhnya yang berdaulat adalah para kapitalis
bukan rakyat seperti yang didengung – dengungkan. Karena mekanisme dalam
demokrasi memang dibuat supaya melanggengkan kapitalisme itu sendiri. Hal ini
terlihat bagaimana pola hubungan antara partai politik, calon penguasa dengan
kapitalis pada saat pemilu digelar.
Pada saat itu dibangunlah deal – deal politik dengan durasi waktu
tertentu, missal periode 5 tahunan dan sebagainya. Sehingga wajar jika para
wakil rakyat atau para penguasa terpilih tidak akan sepenuhnya mengurusi
rakyatnya, mereka akan sibuk melunasi hutang budi maupun hutang harta yang
telah mereka buat dengan para pemodal/kapitalis. Fakta ini bisa kita lihat
bahwa akan sangat sulit kita menemukan wakil rakyat atau penguasa tanpa
memiliki dukungan keuangan (financial)
yang cukup, bahkan tidak jarang mereka – mereka yang menjadi wakil rakyat adalah
para pengusaha atau kapitalis itu sendiri.Mereka membajak Negara melalui cara
seolah – olah baik/halal dengan secara langsung atau menggunakan dan atau
menciptakan figure – figure yang disukai rakyat.
Demokrasi Sebagai Alat Menuju Kesejahteraan??
Bagi orang yang berpikir jernih
tentunya dengan mudah bisa menjawab pertanyaan ini. Kalau dikatakan bahwa
demokrasi berkorelasi ppsitif terhadap kesejahteraan jawabanya iya bagi
sebagian kecil masyarakat tetapi TIDAK bagi sebagain besar masyarakat. Karena
sesungguhnya yang berdaulat adalah para kapitalis/pemodal besar, mengingat
dialah yang membiayai partai (lihat kembali diagram diatas).
Mengapa Demokrasi disebut system yang
bertentangan dengan Islam?
Hari ini demokrasi seolah menjadi
kebenaran yang harus terus diperjuangkan dan tidak bertentangan dengan Islam.
Sehingga denganya kita bisa dapati, bahkan banyak, orang – orang Islam yang
memperjuangkan demokrasi tanpa tahu essensi demokrasi itu sendiri.Mereka
mengatakan substansi tetapi tidak mengerti substansi dari demokrasi.
Uraian berikut berusaha untuk
memberikan pandangan terkait dengan teori demokrasi dan sekaligus mencoba
menelaah letak kesalahan dan perbedaan yang mencolok dalam Islam sehingga harus
ditolak penerapan dan penyebaranya..
Demokrasi berasal dari kata demos=rakyat
dan kratos=pemerintahan. Sehingga makna gampangnya adalah pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat..Indah ya kedengaranya...Konsep ini
berangkat dari asumsi bahwa yang paling mngerti kebutuhan rakyat adalah rakyat
itu sendiri.
Akan tetapi yang paling penting dari
demokrasi adalah konsep kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat. Inilah
jantung/ essensi dari demokrasi sebenarnya.
Terus
apa yang salah?
Begini, kita harus uraikan dulu makna
kekuasaan dan kedaulatan. Kekuasaan bisa dimaknai secara gampang adalah siapa
yang melaksanakan pmerintahan, sedangkan kedaulatan adalah siapa yang berhak
membuat hukum. Makanya dalam demokrasi muncul sebuah jargon ”suara rakat, suara
Tuhan/ vox populi vox dei”. Nah disinilah perbedaan signifikan antara sistem
Islam dengan demokrasi. Artinya dalam sistem Islam, kekuasaan ada di tangan
rakyat, akan tetapi kedaulatan ada di
tangan syara’, artinya yang berhak membuat hukum adalah Allah SWT, bukan rakyat
(yang terepresentasikan dalam perwakilan rakyat) seperti yang terjadi dalam
demokrasi. Lebih jelasnya liat diagram berikut ini :
Dari diagram diatas bisa kita lihat
dengan sangat gamblang perbedaan turunnya sebuah hukum/aturan/undang – undang (aspek
kedaulatan) dalam demokrasi maupun dalam Islam termasuk siapa yang memiliki hak
untuk itu.
Makna hukum adalah aturan/undang –
undang. Nah dalam undang – undang ini kemudian diatur segala hal yang terkait
dengan segala aktivitas perikehidupan manusia baik pada level individu,
masyarakat maupun negara. Undang – undang inilah yang menjadi standar
kebenaran, sehingga bisa kita dapati dalam sistem sekarang akan ada orang yang
dikenai sanksi baik itu penjara atau denda ketika dia melanggar undang –
undang, baik itu kemudian bentuknya pidana atau perdata.
Dalam demokrasi, perwakilan rakyatlah (baca:
manusia/orang) yang berhak untuk membuat hukum dalam forum/lembaga yang disebut
DPR, melalui proses kompromistik dan atau voting (suara terbanyak). Sumber
hukum yang dipakai dalam demokrasi intinya berasal dari manusia, baik itu
melalui apa yang disebut nilai – nilai/pendapat masyarakat, adat istiadat,
tradisi dan bias jadi sebagian agama, dan sebagainya.
Hal ini berbeda dengan Islam, dalam
Islam yang berhak membuat hukum adalah Allah SWT yang termanifestasikan dalam
Al – Qur’an dan Hadist, dari sanalah digali berbagai hukum yang terkait dengan
aktivitas manusia dalam berbagai level kehidupan, yang kemudian menjadi hukum
positif melalui proses ijtihad kemudian dilegislasi oleh kholifah yang kemudian
dalam dunia modern disebut dengan undang – undang. Al – Qur’an dan Hadist dalam
hal ini dengan kata lain merupakan konstitusi umum kaum muslimin. Walaupun
tetap yang melakukan (actor) penggalian hokum/ijtihad adalah manusia, akan
tetapi sumber hokum, proses penggalian hokum dan legislasi hokum tampak jelas
sekali berbeda.
Maka dalam demokrasi kita bisa
menemukan sesuatu/aktivitas yang jelas telah diharamkan oleh Allah SWT bisa
menjadi hukumnya boleh. Misalnya minuman keras (khamr). Khamr telah jelas haram
hukumnya tanpa terkecuali, tetapi bisa kita temui saat ini bahwa minuman keras
adalah juga termasuk barang ekonomi sehingga bisa kita temui adanya pabrik
minuman keras, yang tentunya legal (halal) karena ada aturanya dan mereka
ditarik pajak secara rutin oleh pemerintah. Misal kedua adalah pornografi.
Dalam Islam pornografi dan atau pornoaksi adalah haram tanpa terkecuali, akan
tetapi bisa kita dapatkan bahwa dalam demokrasi pornografi adalah dibolehkan
dengan syarat tertentu, misalnya harus diatas 17 tahun atau jika terkait dengan
adat – istiadat maka dibolehkan.
Dari perbedaan ini lah bisa kita lihat
bahwa DPR (baca; manusia) telah menjadi menjelma Tuhan baru, telah merampas
otoritas/hak Allah untuk membuat hukum dan disinilah letak kekufuran nya. Hal
ini persis yang digambarkan oleh Allah dalam Q.S At Taubah 31.
” Mereka menjadikan orang – orang
alimnya dan rahib – rahib mereka menjadi Tuhan mereka selain Allah”
Perbedaan yang kedua, prinsip suara
terbanyak juga bertentangan dalam Islam, karena dalam konteks perumusan dan
pengesahan undang – undang dalam
demokrasi (yang notabene adalah standar kebenaran yang akan disahkan) di
hasilkan melalui kompromi dan suara yang paling banyak, padahal suara terbanyak
itu belum tentu kebenaran. Kebenaran walaupun diemban oleh satu orang akan tetap
kebenaran walaupun ditentang oleh banyak orang.
Hal
ini karena dalam demokrasi – sekuler, pijakan penentuan nilai kebenaran adalah
kompromistis alias digali dari berbagai perspektif manusia yang notabene
terbatas. Kebenaran/kebaikan hari ini belum tentu kebenaran/kebaikan di masa
yang akan datang, jika diserahkan kepada manusia (karena manusia terbatas
tadi). Dengan demikian maka kebenaran yang dihasilkan menjadi kebenaran yang
relatif. Sementara dalam Islam, pijakannya jelas yakni aturan yang diturunkan
oleh Allah SWT, Al-Qur’an dan sunnah, semuanya digali dan bersumber dari sana.
Sehingga kalo ada pertentangan, ya tinggal kuat – kuatan dalil (quwwatu dalil) bukan dalih.
Casino Roll: Casino Roll | Review of a Player
ReplyDeleteA complete review of casino 스포츠스코어 Roll, including 오늘 뭐 먹지 룰렛 the 마이크로 게이밍 latest bonuses, games, payouts, and promotions 토토 배당률 for players, here at av 보는 곳 Casino Roll.