Tuesday 29 January 2013

Masih Percaya 100 Persen dengan Media??

Seperti halnya kaidah jurnalistik yang harus skeptis dan kritis maka selayaknyalah kita perlakukan sama kepada para jurnalis dan media. Berikut adalah penuturan Edy A Effendi, seorang mantan redaktur budaya di SKH Nasional Media Indonesia terkait polah tingkah media massa. Ini saya ambil dari kultwit beliau di twitter dengan akun @eae18. Silahkan dicermati ;


1. Media Massa dikalahkan pemodal dan iklan. Mrk pasti berargumen, iklan itu gizi dan halal. Oke. Tapi bagaimana dengan iklan pesan sponsor?


2. Iklan yang lahir dari elit partai untuk menjatuhkan kubu yang bersebarangan? Iklan elit partai dikemas dengan berbagai cara. Misalnya....


3. elit partai menyodorkan data-data partai lain/tokoh partai lain yang akan dihabisi/dibully. Biasanya prosedur ini lewat pintu belakang


4. Pintu belakang itu melalui desk polkam atau penjaga halaman pertama. Tentu bagian iklan tak diberitahu karena ini "gizi" tambahan redaksi


5. Biasanya pemred pun tak tahu karena ini permainan antar penjaga halaman. Gizi dimakan antar mereka. Atau ada juga pesanan pemred


6. Pesanan pemred ini sudah kelas kakap yang ikut main. Pemred bisa saja berpura2 bhwa isu A misalnya, layak diangkat dg berbagai apologi


7. Tapi krn kawans di desk polkam n penjaga halaman satu paham permainan ini, biasanya pemred pun beritahu mrk. Ini praktik di media manapun


8. saya punya banyak bukti untuk kasus ini atau permainan "tiki taka" di kalangan media massa. Maka yg dirugikan dr kasus sprti ini pembaca


9. Acara talkkshow atau dialog di televisi atau acara investigasi, sangat sering dimasuki "roh jahat" para penjaga desk. Gak usah ngelak lah


10. Yang kering ya penjaga budaya, khususnya cerpen dan puisi. bertahun-tahun sy bekerja menyeleksi cerpen n puisi kawans penyair n cerpenis


11. ladang budaya, khususnya cerpen n puisi, ladang kering. Ladang basah di desk polkan, metropolitan dan ekonomi. Ini gila-gilaan


12. Banjir uang para wartawan di desk polkam dan metropolitan, akan datang jika pemilu tiba atau pilkada gubernur/walikota/bupati


13. Pilgub DKI Jakarta, hampir media massa, baik cetak, televisi dan portal online, panen. Bisa nyampe ratusan miliar. Gak usah mengelak ya


14. Saya punya beberapa data media massa ketika Pilgub DKI menerima miliaran rupiah. Pestalah mereka. Jadi sngt wajar jk mereka berpihak


15. Selain unsur pers yg panen, biasanya LSM2 jg ikut kebanjiran rupiah. Mrk dpt gelontoran lembaga LN. Alasannya tuk pelayanan masyarakat


16. Maka tak heran, jika banyak aktivis yg berpihak ke calon tertentu. Nuansanya tak hanya perubahan kepemimpinan tp jg soal uang


17. Jadi saudara-saudaraku yang budiman, masih percaya pada pers dan LSM jg aktivis? ya silakan saja jk terus-menerus m au dibodohi


Demikian semoga semakin mencerahkan dan membuka mata kita terhadap apa yang terjadi dengan pers kita yang kita dapati semakin hari semakin tidak jelas.

Thursday 10 January 2013

Pakaian Muslimah dalam kehidupan Sehari-hari


Jilbab dan Khimar, Busana Muslimah dalam Kehidupan Sehari-Hari

oleh : KH.M. shidiq Al Jawi
Soal: Ustadz yang terhormat, saya ingin penjelasan seputar jilbab dan khimar, serta busanah muslimah dalam kehidupan sehari-hari. Saya dengar bahwa memakai jilbab itu tidak wajib. Sehingga banyak muslimah yang memakai baju-baju ketat dan celana panjang, karena menurut mereka yang penting itu sudah menutupin auratnya.

Jawab: 1. Pengantar
Banyak kesalahpahaman terhadap Islam di tengah masyarakat. Misalnya saja jilbab. Tak sedikit orang menyangka bahwa yang dimaksud dengan jilbabadalah kerudung. Padahal tidak demikian. Jilbab bukan kerudung. Kerudung dalam al-Qur’an surah An-Nuur [24]: 31 disebut dengan istilah khimar(jamaknya: khumur), bukan jilbab. Adapun jilbab yang terdapat dalam surah al-Ahzab [33]: 59, sebenarnya adalah baju longgar yang menutupi seluruh tubuh perempuan dari atas sampai bawah.
Kesalahpahaman lain yang sering dijumpai adalah anggapan bahwa busana muslimah itu yang penting sudah menutup aurat, sedang mode baju apakah terusan atau potongan, atau memakai celana panjang, dianggap bukan masalah. Dianggap, model potongan atau bercelana panjang jeans oke-oke saja, yang penting ‘kan sudah menutup aurat. Kalau sudah menutup aurat, dianggap sudah berbusana muslimah secara sempurna. Padahal tidak begitu. Islam telah menetapkan syarat-syarat bagi busana muslimah dalam kehidupan umum, seperti yang ditunjukkan oleh nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Menutup aurat itu hanya salah satu syarat, bukan satu-satunya syarat busana dalam kehidupan umum. Syarat lainnya misalnya busana muslimah tidak boleh menggunakan bahan tekstil yang transparan atau mencetak lekuk tubuh perempuan. Dengan demikian, walaupun menutup aurat tapi kalau mencetak tubuh alias ketat —atau menggunakan bahan tekstil yang transparan— tetap belum dianggap busana muslimah yang sempurna.
Karena itu, kesalahpahaman semacam itu perlu diluruskan, agar kita dapat kembali kepada ajaran Islam secara murni serta bebas dari pengaruh lingkungan, pergaulan, atau adat-istiadat rusak di tengah masyarakat sekuler sekarang. Memang, jika kita konsisten dengan Islam, terkadang terasa amat berat. Misalnya saja memakai jilbab (dalam arti yang sesungguhnya). Di tengah maraknya berbagai mode busana wanita yang diiklankan trendi dan up to date, jilbab secara kontras jelas akan kelihatan ortodoks, kaku, dan kurang trendi (dan tentu, tidak seksi). Padahal, busana jilbab itulah pakaian yang benar bagi muslimah.
Di sinilah kaum muslimah diuji. Diuji imannya, diuji taqwanya. Di sini dia harus memilih, apakah dia akan tetap teguh mentaati ketentuan Allah dan Rasul-Nya, seraya menanggung perasaan berat hati namun berada dalam keridhaan Allah, atau rela terseret oleh bujukan hawa nafsu atau rayuan syaitan terlaknat untuk mengenakan mode-mode liar yang dipropagandakan kaum kafir dengan tujuan agar kaum muslimah terjerumus ke dalam limbah dosa dan kesesatan.
Berkaitan dengan itu, Nabi Saw pernah bersabda bahwa akan tiba suatu masa di mana Islam akan menjadi sesuatu yang asing —termasuk busana jilbab— sebagaimana awal kedatangan Islam. Dalam keadaan seperti itu, kita tidak boleh larut. Harus tetap bersabar, dan memegang Islam dengan teguh, walaupun berat seperti memegang bara api. Dan insyaAllah, dalam kondisi yang rusak dan bejat seperti ini, mereka yang tetap taat akan mendapat pahala yang berlipat ganda. Bahkan dengan pahala lima puluh kali lipat daripada pahala para shahabat. Sabda Nabi Saw:
Islam bermula dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi sesuatu yang asing. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” [HR. Muslim no. 145].
Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari yang memerlukan kesabaran. Kesabaran pada masa-masa itu bagaikan memegang bara api. Bagi orang yang mengerjakan suatu amalan pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh orang yang mengerjakan semisal amalan itu. Ada yang berkata, “Hai Rasululah, apakah itu pahala lima puluh di antara mereka?” Rasululah Saw menjawab, “Bahkan lima puluh orang di antara kalian (para shahabat).” [HR. Abu Dawud, dengan sanad hasan].
2. Aurat Dan Busana Muslimah
Ada 3 (tiga) masalah yang sering dicampuradukkan yang sebenarnya merupakan masalah-masalah yang berbeda-beda.
Pertama, masalah batasan aurat bagi wanita.
Kedua, busana muslimah dalam kehidupan khusus (al hayah al khashshash), yaitu tempat-tempat di mana wanita hidup bersama mahram atau sesama wanita, seperti rumah-rumah pribadi, atau tempat kost.
Ketiga, busana muslimah dalam kehidupan umum (al hayah ‘ammah), yaitu tempat-tempat di mana wanita berinteraksi dengan anggota masyarakat lain secara umum, seperti di jalan-jalan, sekolah, pasar, kampus, dan sebagainya. Busana wanita muslimah dalam kehidupan umum ini terdiri dari jilbab dan khimar.
a. Batasan Aurat Wanita
Aurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Lehernya adalah aurat, rambutnya juga aurat bagi orang yang bukan mahram, meskipun cuma selembar. Seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Hal ini berlandaskan firman Allah SWT:
Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nuur [24]: 31).
Yang dimaksud “wa laa yubdiina ziinatahunna” (janganlah mereka menampakkan perhiasannya), adalah “wa laa yubdiina mahalla ziinatahinna” (janganlah mereka menampakkan tempat-tempat (anggota tubuh) yang di situ dikenakan perhiasan) (Lihat Abu Bakar Al-Jashshash, Ahkamul Qur’an, juz III, hal. 316).
Selanjutnya, “illa maa zhahara minha” (kecuali yang (biasa) nampak dari padanya). Jadi ada anggota tubuh yang boleh ditampakkan. Anggota tubuh tersebut, adalah wajah dan dua telapak tangan. Demikianlah pendapat sebagian shahabat, seperti ‘Aisyah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar (Al-Albani, 2001 : 66). Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H) berkata dalam kitab tafsirnya Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, juz XVIII, hal. 84, mengenai apa yang dimaksud dengan “kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (illaa maa zhahara minha): “Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengatakan, ‘Yang dimaksudkan adalah wajah dan dua telapak tangan’.” Pendapat yang sama juga dinyatakan Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnyaAl-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, juz XII, hal. 229 (Al-Albani, 2001 : 50 & 57).
Jadi, yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan dua telapak tangan. Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan muslimah di hadapan Nabi Saw sedangkan beliau mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak dalam ibadah-ibadah seperti haji dan shalat. Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat di masa Rasulullah Saw, yaitu di masa masih turunnya ayat al-Qur’an (An-Nabhani, 1990 : 45). Di samping itu terdapat alasan lain yang menunjukkan bahwasanya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan karena sabda Rasulullah Saw kepada Asma’ binti Abu Bakar:
Wahai Asma’ sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.” [HR. Abu Dawud].
Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwasanya seluruh tubuh wanita itu adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Maka diwajibkan atas wanita untuk menutupi auratnya, yaitu menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.
b. Busana Muslimah Dalam Kehidupan Khusus
Adapun dengan apa seorang muslimah menutupi aurat tersebut, maka di sini syara’ tidak menentukan bentuk/model pakaian tertentu untuk menutupi aurat, akan tetapi membiarkan secara mutlak tanpa menentukannya dan cukup dengan mencantumkan lafadz dalam firman-Nya (Qs. an-Nuur [24]: 31) “wa laa yubdiina” (Dan janganlah mereka menampakkan) atau sabda Nabi Saw “lam yashluh an yura minha” (tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya) [HR. Abu Dawud]. Jadi, pakaian yang menutupi seluruh auratnya kecuali wajah dan telapak tangan dianggap sudah menutupi, walau bagaimana pun bentuknya. Dengan mengenakan daster atau kain yang panjang juga dapat menutupi, begitu pula celana panjang, rok, dan kaos juga dapat menutupinya. Sebab bentuk dan jenis pakaian tidak ditentukan oleh syara’.
Berdasarkan hal ini maka setiap bentuk dan jenis pakaian yang dapat menutupi aurat, yaitu yang tidak menampakkan aurat dianggap sebagai penutup bagi aurat secara syar’i, tanpa melihat lagi bentuk, jenis, maupun macamnya.
Namun demikian syara’ telah mensyaratkan dalam berpakaian agar pakaian yang dikenakan dapat menutupi kulit. Jadi pakaian harus dapat menutupi kulit sehingga warna kulitnya tidak diketahui. Jika tidak demikian, maka dianggap tidak menutupi aurat. Oleh karena itu apabila kain penutup itu tipis/transparan sehingga nampak warna kulitnya dan dapat diketahui apakah kulitnya berwarna merah atau coklat, maka kain penutup seperti ini tidak boleh dijadikan penutup aurat.
Mengenai dalil bahwasanya syara’ telah mewajibkan menutupi kulit sehingga tidak diketahui warnanya, adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwasanya Asma’ binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi Saw dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah Saw berpaling seraya bersabda:
Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak boleh baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.” [HR. Abu Dawud].
Jadi Rasulullah Saw menganggap kain yang tipis itu tidak menutupi aurat, malah dianggap menyingkapkan aurat. Oleh karena itu lalu Nabi Saw berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi.
Dalil lainnya juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah bin Zaid, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi Saw tentang Qibtiyah (baju tipis) yang telah diberikan Nabi Saw kepada Usamah. Lalu dijawab oleh Usamah bahwasanya ia telah memberikan pakaian itu kepada isterinya, maka Rasulullah Saw bersabda kepadanya:
Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.” [HR. Ahmaddan Al-Baihaqi, dengan sanad hasan. Dikeluarkan oleh Adh-Dhiya’ dalam kitab Al-Ahadits Al-Mukhtarah, juz I, hal. 441] (Al-Albani, 2001 : 135).
Qibtiyah adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah Saw mengetahui bahwasanya Usamah memberikannya kepada isterinya, beliau memerintahkan agar dipakai di bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya dilihat dari balik kain tipis itu, sehingga beliau bersabda: “Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu.
Dengan demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk yang sangat jelas bahwasanya syara’ telah mensyaratkan apa yang harus ditutup, yaitu kain yang dapat menutupi kulit. Atas dasar inilah maka diwajibkan bagi wanita untuk menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis sedemikian sehingga tidak tergambar apa yang ada di baliknya.
c. Busana Muslimah Dalam Kehidupan Umum
Pembahasan poin b di atas adalah topik mengenai penutupan aurat wanita dalam kehidupan khusus. Topik ini tidak dapat dicampuradukkan dengan pakaian wanita dalam kehidupan umum, dan tidak dapat pula dicampuradukkan dengan masalah tabarruj pada sebagian pakaian-pakaian wanita.
Jadi, jika seorang wanita telah mengenakan pakaian yang menutupi aurat, tidak berarti lantas dia dibolehkan mengenakan pakaian itu dalam kehidupan umum, seperti di jalanan umum, atau di sekolah, pasar, kampus, kantor, dan sebagainya. Mengapa? Sebab untuk kehidupan umum terdapat pakaian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’. Jadi dalam kehidupan umum tidaklah cukup hanya dengan menutupi aurat, seperti misalnya celana panjang, atau baju potongan, yang sebenarnya tidak boleh dikenakan di jalanan umum meskipun dengan mengenakan itu sudah dapat menutupi aurat.
Seorang wanita yang mengenakan celana panjang atau baju potongan memang dapat menutupi aurat. Namun tidak berarti kemudian pakaian itu boleh dipakai di hadapan laki-laki yang bukan mahram, karena dengan pakaian itu ia telah menampakkan keindahan tubuhnya (tabarruj). Tabarruj adalah,menempakkan perhiasan dan keindahan tubuh bagi laki-laki asing/non-mahram (izh-haruz ziinah wal mahasin lil ajaanib) (An-Nabhani, 1990 : 104). Oleh karena itu walaupun ia telah menutupi auratnya, akan tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh syara’.
Pakaian wanita dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu baju bawah (libas asfal) yang disebut dengan jilbab, dan baju atas (libas a’la) yaitu khimar(kerudung). Dengan dua pakaian inilah seorang wanita boleh berada dalam kehidupan umum, seperti di kampus, supermarket, jalanan umum, kebun binatang, atau di pasar-pasar.
Apakah pengertian jilbab? Dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith karya Dr. Ibrahim Anis (Kairo : Darul Maarif) halaman 128, jilbab diartikan sebagai “Ats tsaubul musytamil ‘alal jasadi kullihi” (pakaian yang menutupi seluruh tubuh), atau “Ma yulbasu fauqa ats tsiyab kal milhafah” (pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian rumah, seperti milhafah (baju terusan), atau “Al Mula`ah tasytamilu biha al mar’ah” (pakaian luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh wanita).
Jadi jelaslah, bahwa yang diwajibkan atas wanita adalah mengenakan kain terusan (dari kepala sampai bawah) (Arab: milhafah/mula`ah) yang dikenakan sebagai pakaian luar (di bawahnya masih ada pakaian rumah, seperti daster, tidak langsung pakaian dalam) lalu diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya.
Untuk baju atas, disyariatkan khimar, yaitu kerudung atau apa saja yang serupa dengannya yang berfungsi menutupi seluruh kepala, leher, dan lubang baju di dada. Pakaian jenis ini harus dikenakan jika hendak keluar menuju pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum (An-Nabhani, 1990 : 48).
Apabila ia telah mengenakan kedua jenis pakaian ini (jilbab dan khimar) dibolehkan baginya keluar dari rumahnya menuju pasar atau berjalan melalui jalanan umum, yaitu menuju kehidupan umum. Akan tetapi jika ia tidak mengenakan kedua jenis pakaian ini maka dia tidak boleh keluar dalam keadaan apa pun, sebab perintah yang menyangkut kedua jenis pakaian ini datang dalam bentuk yang umum, dan tetap dalam keumumannya dalam seluruh keadaan, karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
Dalil mengenai wajibnya mengenakan dua jenis pakaian ini, karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bagian atas (khimar/kerudung):
Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nuur [24]: 31).
Dan karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bawah (jilbab):
Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.” (Qs. al-Ahzab [33]: 59).
Adapun dalil bahwa jilbab merupakan pakaian dalam kehidupan umum, adalah hadits yang diriwayatkan dari Ummu ‘Athiah r.a., bahwa dia berkata:
Rasulullah Saw memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju shalat Ied, maka Ummu ‘Athiyah berkata, ‘Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?’ Maka Rasulullah Saw menjawab: ‘Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya!’” [Muttafaqun ‘alaihi] (Al-Albani, 2001 : 82).
Berkaitan dengan hadits Ummu ‘Athiyah ini, Syaikh Anwar Al-Kasymiri, dalam kitabnya Faidhul Bari, juz I, hal. 388, mengatakan: “Dapatlah dimengerti dari hadits ini, bahwa jilbab itu dituntut manakala seorang wanita keluar rumah, dan ia tidak boleh keluar (rumah) jika tidak mengenakan jilbab.” (Al-Albani, 2001 : 93).
Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas wanita agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadits dari Ummu ‘Athiah r.a. di atas, yakni kalau seorang wanita tak punya jilbab —untuk keluar di lapangan sholat Ied (kehidupan umum)— maka dia harus meminjam kepada saudaranya (sesama muslim). Kalau tidak wajib, niscaya Nabi Saw tidak akan memerintahkan wanita mencari pinjaman jilbab.
Untuk jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi harus terulur sampai ke bawah sampai menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan: “yudniina ‘alaihinna min jalabibihinna” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka).
Dalam ayat tersebut terdapat kata “yudniina” yang artinya adalah yurkhiina ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini —yaitu idnaa’ berarti irkhaa’ ila asfal— diperkuat dengan dengan hadits Ibnu Umar bahwa dia berkata, Rasulullah Saw telah bersabda:
Barang siapa yang melabuhkan/menghela bajunya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat nanti.’ Lalu Ummu Salamah berkata,’Lalu apa yang harus diperbuat wanita dengan ujung-ujung pakaian mereka (bi dzuyulihinna).” Nabi Saw menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya (yurkhiina) sejengkal (syibran)’ (yakni dari separoh betis). Ummu Salamah menjawab, ‘Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap.’ Lalu Nabi menjawab, ‘Hendaklah mereka mengulurkannya sehasta (fa yurkhiina dzira`an) dan jangan mereka menambah lagi dari itu.” [HR. At-Tirmidzi, juz III, hal. 47; hadits sahih] (Al-Albani, 2001 : 89).
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi Saw, pakaian luar yang dikenakan wanita di atas pakaian rumah —yaitu jilbab— telah diulurkan sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki.
Berarti jilbab adalah terusan, bukan potongan. Sebab kalau potongan, tidak bisa terulur sampai bawah. Atau dengan kata lain, dengan pakaian potongan seorang wanita muslimah dianggap belum melaksanakan perintah “[/i]yudniina ‘alaihinna min jalaabibihina[/i]” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya). Di samping itu kata min dalam ayat tersebut bukan min lit tab’idh (yang menunjukkan arti sebagian) tapi merupakan min lil bayan (menunjukkan penjelasan jenis). Jadi artinya bukanlah “Hendaklah mereka mengulurkan sebagian jilbab-jilbab mereka” (sehingga boleh potongan), melainkan Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka (sehingga jilbab harus terusan) (An-Nabhani, 1990 : 45-51).
3. Penutup
Dari penjelasan di atas jelas bahwa wanita dalam kehidupan umum wajib mengenakan baju terusan yang longgar yang terulur sampai ke bawah yang dikenakan di atas baju rumah mereka. Itulah yang disebut dengan jilbab dalam al-Qur’an.
Jika seorang wanita muslimah keluar rumah tanpa mengenakan jilbab seperti itu, dia telah berdosa, meskipun dia sudah menutup auratnya. Sebab mengenakan baju yang longgar yang terulur sampai bawah adalah fardlu hukumnya. Dan setiap pelanggaran terhadap yang fardlu dengan sendirinya adalah suatu penyimpangan dari syariat Islam di mana pelakunya dipandang berdosa di sisi Allah. [M. Shiddiq al-Jawi]
Daftar Bacaan
1. Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2001. Jilbab Wanita Muslimah Menurut Al-Qur`an dan As Sunnah (Jilbab Al-Mar`ah Al-Muslimah fi Al-Kitab wa As-Sunnah). Alih Bahasa Hawin Murtadlo & Abu Sayyid Sayyaf. Cetakan ke-6. (Solo : At-Tibyan).
2. ———-. 2002. Ar-Radd Al-Mufhim Hukum Cadar (Ar-Radd Al-Mufhim ‘Ala Man Khalafa Al-‘Ulama wa Tasyaddada wa Ta’ashshaba wa Alzama Al-Mar`ah bi Satri Wajhiha wa Kaffayha wa Awjaba). Alih Bahasa Abu Shafiya. Cetakan ke-1. (Yogyakarta : Media Hidayah).
3. Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1998. Emansipasi Adakah dalam Islam Suatu Tinjauan Syariat Islam Tentang Kehidupan Wanita. Cetakan ke-10. (Jakarta : Gema Insani Press).
4. Ali, Wan Muhammad bin Muhammad. Al-Hijab. Alih bahasa Supriyanto Abdullah. Cetakan ke-1. (Yogyakarta : Ash-Shaff).
5. Ambarwati, K.R. & M. Al-Khaththath. 2003. Jilbab Antara Trend dan Kewajiban. Cetakan Ke-1. (Jakarta : Wahyu Press).
6. Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu’jamul Wasith. Cet. 2. (Kairo : Darul Ma’arif)
7. An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam. Cetakan ke-3. (Beirut : Darul Ummah).
8. Ath-Thayyibiy, Achmad Junaidi. 2003. Tata Kehidupan Wanita dalam Syariat Islam. Cetakan ke-1. (Jakarta : Wahyu Press).
9. Bin Baz, Syaikh Abdul Aziz et.al. 2000. Fatwa-Fatwa Tentang Memandang, Berkhalwat, dan Berbaurnya Pria dan Wanita (Fatawa An-Nazhar wa al-Khalwah wa Al-Ikhtilath). Alih Bahasa Team At-Tibyan. Cetakan ke-5. (Solo : At-Tibyan).
10. Taimiyyah, Ibnu. 2000. Hijab dan Pakaian Wanita Muslimah dalam Sholat (Hijab Al-Mar`ah wa Libasuha fi Ash-Shalah). Ditahqiq Oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Alih Bahasa Hawin Murtadlo. Cetakan ke-2. (Solo : At-Tibyan).
11. ———- et. al. 2002. 5 Risalah Hijab Kumpulan Fatwa-Fatwa Tentang Pakaian, Hijab, Cadar, Ikhtilath, Berjabat Tangan, dan Khalwat (Majmu’ Rasail fi Al Hijab wa As-Sufur). Alih Bahasa Muzaidi Hasbullah. Cetakan ke-1. (Solo : Pustaka Arafah).
12. Qonita, Arina. 2001. Jilbab dan Hijab. Cetakan ke-1. (Jakarta : Bina Mitra Press)

Wednesday 9 January 2013

Adakah Demokrasi dalam Islam??


Adakah Demokrasi dalam Islam?


Secara ringkas berikut saya sampaikan tulisan dari KH.M.Sidiq Al Jawi yang bersumber dari kitab yang ditulis oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum, yang kiranya cukup menjelaskan perbedaan yang signifikan antara demokrasi dan Islam. Bahwa syuro’ (musyawarah) dalam Islam BUKAN lah demokrasi, sampai pada kesimpulan jika diambil hukum syara terhadap demokrasi adalah sistem kufur.

Ada 5 (lima) segi kontradiksi Islam dengan demokrasi, yaitu sebagai berikut :
1. Sumber kemunculan
2. Aqidah
3. Pandangan tentang kedaulatan dan kekuasaan
4. Prinsip Mayoritas
5. Kebebasan (Hak Asasi Manusia)

Penjelasan masing – masing poin di atas adalah sebagai berikut ;

(1). Sumber Kemunculan
Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang menjadi pemutus (al haakim) untuk memberikan penilaian terpuji atau tercelanya benda yang digunakan manusia dan perbuatan-perbuatannya, adalah akal.

Para pencetus demokrasi adalah para filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala berlangsung pertarungan sengit antara para kaisar dan raja di Eropa dengan rakyat mereka. Dengan demikian, jelas bahwa demokrasi adalah buatan manusia, dan bahwa pemutus segala sesuatu adalah akal manusia.
Sedangkan Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi dalam hal ini. Islam berasal dari Allah, yang telah diwahyukan-Nya kepada rasul-Nya Muhammad bin Abdullah SAW. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :

"Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanya berupa wahyu yang diwahyukan." (QS. An-Najm : 3-4)

(2). Aqidah
Adapun aqidah yang melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas prinsip jalan tengah (kompromi) antara para rohaniwan Kristen –yang diperalat oleh para raja dan kaisar dan dijadikan perisai untuk mengeksploitir dan menzhalimi rakyat atas nama agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama-- dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan menolak otoritas para rohaniwan.

Aqidah ini tidak mengingkari eksistensi agama, tetapi hanya menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara. Dengan sendirinya konsekuensi aqidah ini ialah memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan hidupnya sendiri.

Sedangkan Islam, sangatlah berbeda dengan Barat dalam hal aqidahnya. Islam dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah --yakni hukum-hukum syara' yang lahir dari Aqidah Islamiyah-- dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Aqidah ini menerangkan bahwa manusia tidak berhak membuat peraturan hidupnya sendiri. Manusia hanya berkewajiban menjalani kehidupan menurut peraturan yang ditetapkan Allah SWT untuk manusia.

(3). Pandangan Tentang Kedaulatan dan Kekuasaan
Demokrasi menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki dan melaksanakan kehendaknya, bukan para raja dan kaisar. Rakyatlah yang menjalankan kehendaknya sendiri. Berdasarkan prinsip bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan, pemilik dan pelaksana kehendak, maka rakyat berhak membuat hukum yang merupakan ungkapan dari pelaksanaan kehendak rakyat dan ungkapan kehendak umum dari mayoritas rakyat. Rakyat membuat hukum melalui para wakilnya yang mereka pilih untuk membuat hukum sebagai wakil rakyat. Kekuasaan juga bersumber dari rakyat, baik kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.

Sementara itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara', bukan di tangan umat. Sebab, Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri' (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Allah SWT berfirman :

"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." (QS. Al An'aam: 57)

Dalam hal kekuasaan, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat.

Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai'at, yang menetapkan adanya hak mengangkat Khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai'at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah saw bersabda :
"Barangsiapa mati sedang di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati jahiliyah." (HR. Muslim)

(4). Prinsip Mayoritas
Demokrasi memutuskan segala sesuatunya berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Sedang dalam Islam, tidaklah demikian. Rinsiannya adalah sebagai berikut :
a)      Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syaraâ’, yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah.
b)      Untuk masalah yang menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan suara mayoritas. Peristiwa pada perang Badar merupakan dalil untuk ini.
c)       Sedang untuk masalah teknis yang langsung berhubungan dengan amal (tidak memerlukan keahlian), kriterianya adalah suara mayoritas. Peristiwa pada Perang Uhud menjadi dalilnya.

(5). Kebebasan (Hak Asasi Manusia)
Dalam demokrasi dikenal ada empat kebebasan,inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu:
a)      Kebebasan beragama (freedom of religion)
b)      Kebebasan berpendapat (fredom of speech)
c)       Kebebasan kepemilikan (freedom of ownership)
d)      Kebebasan bertingkah laku (personal freedom)

Ini bertentangan dengan Islam, sebab dalam Islam seorang muslim wajib terikat dengan hukum syaraâ’ dalam segala perbuatannya. Tidak bisa bebas dan seenaknya. Terikat dengan hukum syaraâ’ bagi seorang muslim adalah wajib dan sekaligus merupakan pertanda adanya iman padanya. Allah SWT berfirman :

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan." (QS. An Nisaa': 65)

Demikian sedikit uraian tentang demokrasi. Semoga mencerahkan dan memperjelas bahwa demokrasi tidak ada dalam Islam. Semoga Allah slalu memberi petunjuk kepada kita semua bahwa yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil. Maka tidak ada alasan untuk tidak menolak demokrasi!!!???

Wallahu a’lam bi shawab, demi ridho-Mu, Ya Allah, saksikanlah hamba sudah menyampaikan

Mengapa Demokrasi Disebut Bertentangan Dengan Islam?
(oleh : Kurdi Abu Jundi)

Lengsernya Soeharto dari tampuk kepemimpinan orde baru pada Mei 1998 telah membawa perubahan besar pada ranah kehidupan Indonesia sekaligus menandai diawalinya era orde reformasi. Sebuah orde dimana letak pengharapan atas perikehidupan berbangsa dalam segala sendi kehidupan yang lebih baik (welfare state) ditumpukan. Akan tetapi setelah lebih dari sepuluh tahun berjalan, era orde reformasi ternyata belum mampu atau kalau tidak boleh dikatakan gagal memenuhi pengharapan yang besar yang ditumpukan kepadanya.

Perubahan yang terjadi ternyata hanya dimaknai pada perubahan politik kekuasaan dengan fokus pada pergantian rezim kepemimpinan. Sehingga fenomena yang kita temukan kemudian adalah fenomena pemilihan umum langsung di mana – mana, baik pada level nasional, provinsi, kabupaten/kota, desa bahkan sampai pada level paling rendah yakni Rukun Tetangga (RT). Tercatat sudah terjadi 320 kali pilkada dalam rentang waktu 3 tahun terakhir, yang jika dirata – rata maka pilkada terjadi dalam rentang waktu 3 hari sekali (Kompas, 24/6/2008).

Sebuah pemaknaan berdemokrasi yang kemudian membawa konsekuensi pembiayaan yang terlalu mahal jika menilik esensinya yakni menuju kesejahteraan rakyat (welfare people). Pembiayaan untuk pemilihan – pemilihan langsung yang akan, telah, sedang terjadi baik di tingkat nasional maupun daerah ternyata memang menelan biaya yang tidak sedikit. Pemilu Nasional 2009 dianggarkan dana sebesar 22 Triliun itupun setelah terjadi pemangkasan. KPU Pusat sebelumnya mengajukan dana pemilu sebesar 47,9 Trilliun. Sementara itu dana pilkada di beberapa daerah juga menelan biaya yang tidak sedikit. Dari data yang penulis dapatkan dari berbagai sumber menunjukkan bahwa untuk mengantarkan Fauzi Bowo (Foke) menjadi Gubernur DKI, KPUD DKI telah menghabiskan dana 124 miliar, Pilkada Jawa Barat yang menghantarkan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf menjadi gubernur dan wakil gubernur telah menelan dana sekitar 328 milliar, beruntung tidak terjadi dua kali putaran karena jika terjadi pilkada putaran kedua diprediksi akan menelan biaya sekitar 696 Milliar, kemudian pilkada Jawa Tengah juga telah menelan dana sekitar 400 milliar. Pilkada Jawa Timur yang telah berlangsung pada 23 Juli 2008 diperkirakan menelan dana 1 trilliun.

Maka bisa dibayangkan berapa dana yang dikeluarkan jika terdapat 33 propinsi dan lebih kurang 400-an kabupaten/ kota, belum termasuk daerah pemekaran baru, diseluruh Indonesia. Tentunya akan didapat sebuah angka yang sangat besar jika dibandingkan dengan kondisi real masyarakat dan substansi perhelatan tersebut. Anda bisa bandingkan dengan anggaran Kementerian Pengentasan Desa Tertinggal yang tidak sampai 1 triliun untuk satu tahun anggaran (APBN 2010).

Hal ini merupakan satu hal yang harus dan patut menjadi catatan penting, mengapa? Karena ditengah kemiskinan yang kian merajalela, anggaran yang begitu besar tentunya menjadi kontraproduktif dari esensi pemilihan umum langsung itu sendiri. Karena toh sejatinya pemilu ataupun pilkada yang diselenggarakan hanyalah salah satu cara, yang itu berarti ada cara lain, untuk memilih pemimpin. Substansi sebenarnya adalah bagaimana mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Selain itu, pemilu baik nasional ataupun daerah juga telah jamak membawa resiko. Selain resiko konflik horisontal ada resiko lain yang merupakan resiko besar lainya yakni ketika pemimpin yang telah terpilih tak lagi menepati janji – janji kesejahteraan yang telah mereka umbar pada masa kampanye mereka. Para pemimpin yang telah terpilih akhirnya cenderung lebih memilih mensejahterakan kolega dan keluarganya sendiri dari pada rakyat pada umumnya. Janji – janji pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yakni pendidikan, kesehatan dan keamanan serta pemenuhan kebutuhan dasar pribadi yakni sandang, pangan dan papan tinggalah janji – janji yang kian jauh dari realitasnya.

Untuk itu berarti rakyat telah kehilangan sumber daya (uang, tenaga dan pikiran) untuk memilih pemimpin yang membohongi mereka. Siapa yang menanggung resiko tersebut?? lagi – lagi rakyatlah yang harus menanggung. Ini bisa dengan gamblang kita lihat faktanya dalam pembelian mobil dinas toyota crown royal salon beberapa waktu lalu bagi para pejabat Negara yang masing – masingnya harganya adalah 1,3 Triliun, atau pembelian catamaran lagoon, kapal yang dibeli oleh kementerian kelautan dan perikanan untuk patroli laut, yang lebih mirip kapal pesiar, seharga 14 milliar atau rencana pembelian pesawat kepresidenan yang uang mukanya saja 200 milliar, belum lagi kenaikan gaji anggota DPR dan pejabat negara.

Walhasil, pemaknaan perubahan yang hanya berkutat pada politik kekuasaan merupakan pemaknaan perubahan yang dangkal. Yang itu berarti kita selama 10 tahun ini telah gagal mendefinisikan dan mengidentifikasi masalah, sehingga jangan heran ketika solusi yang ditawarkan ataupun dipakai hari ini dikemudian hari ternyata adalah bagian dari masalah itu sendiri.

Berpikir Pada Akar Masalah
Dari fenomena tersebut, bagi orang yang berpikir, ini tentunya harus ada aktivitas kritis dan berpikir mendalam atas apa yang sesungguhnya terjadi, tidak lagi hanya berpikir pada level permukaan tapi harus sampai pada akar permasalahan, sehingga bisa didapatkan solusi akar (fundamental) pula. Pertanyaan seperti apakah demokrasi sudah shahih menuju kesejahteraan yang dicita - citakan, kenapa dengan demokrasi terkesan justru menjadi carut marut? Apakah pemilu adalah demokrasi dan sebaliknya?

Kita mestinya tidak tabu untuk mengangkat pertanyaan – pertanyaan tersebut, dan kemudian pertanyaan – pertanyaan kritis – obyektif tersebut kita urai lebih dalam sehingga kita bisa mendapatkan solusi hakiki persoalan hidup dalam ranah individu, bermasyarakat dan bernegara. Yang itu semuanya sungguh berujung pada terpenuhinya kebutuhan hidup individu yakni sandang, pangan dan papan dan kebutuhan masyarakat yakni pendidikan, kesehatan dan keamanan dan termasuk diantaranya adalah kebutuhan lain yang mungkin ada yang bisa jadi kita lupakan diluar yang tersebut diatas.

Makna Kesejahteraan
Kemiskinan berarti tidak terpenuhinya kebutuhan – kebutuhan pokok yang dituntut dalam kehidupan agar dapat hidup layak.1 Masyarakat ideal adalah ketika seluruh individunya terbebas dari kemiskinan. Seluruh kebutuhan pokok tercukupi dan kebutuhan pelengkap sesuai dengan kemampuan masing – masing terbuka untuk dapat diupayakan terpenuhi pula2. Sehingga dengan demikian makna kesejahteraan bisa diartikan secara minimal dengan terpenuhinya kebutuhan dasar individu (sandang, pangan dan papan) dan kebutuhan dasar masyarakat (pendidikan dan kesehatan) serta kemungkinan untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Sehingga dengan demikian orang/masyarakat dikatakan tidak sejahtera/miskin ketika kebutuhan dasar individu dan kebutuhan dasar sebagai bagian dari masyarakat tidak terpenuhi.

Dalam konteks inilah yang menjadi tujuan dari bernegara atau dibentuknya pemerintahan, yakni menghantarkan masyarakatnya menjadi masyarakat yang sejahtera. Dari sana kemudian dibuat aturan – aturan (sistem) untuk merekayasa proses bernegara sehingga tujuan bernegara itu bisa dicapai.

Ideologi Sebagai Dasar Munculnya Sistem
Harus dipahami bahwa sistem (kumpulan dari berbagai aturan/undang – undang) pasti memiliki landasan berpikir (ideologi). Tidak mungkin sebuah aturan tidak memiliki landasan ideologi yang jelas. Contohnya kemunculan Undang – Undang Penanaman Modal, Undang Sumber Daya Air sangat jelas memiliki landasan idologi Kapitalisme, hal ini bisa dilihat dari aturan kepemilikan yang dibebaskan individu untuk memiliki asalkan memiliki modal yang cukup. Tentunya hal ini bertentangan dengan ideologi Islam yang memandang bahwa air merupakan kepemilikan umum yang tidak boleh dimiliki oleh individu.

Hal ini menyiratkan bahwa setiap aturan/ undang – undang yang ditetapkan memiliki dimensi pandangan hidup (ideology) yang khas, apakah aturan tersebut memiliki pandangan (ideology) kapitalisme, sosialisme – komunisme ataukah Islam.

Demokrasi, Alat Politik kapitalisme
Demokrasi seperti digembar – gemborkan oleh para pemujanya disebut sebagai pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Secara faktual sesungguhnya hal ini sudah cacat, karena tidak mungkin hal ini bisa terlaksana karena tidak mungkin seluruh masyrakat memerintah. Oleh karenanya dibuatlah mekanisme perwakilan, dengan asumsi bahwa rakyat memilih wakilnya dan kemudian wakilnya akan mewakili dan menyuarakan suara rakyat/ konstituenya. Hal ini pun secara faktual juga tidak menemukan faktanya karena jamak terjadi para wakil rakyat tersebut justru mewakili dirinya sendiri atau minimal kepentingan golonganya sendiri.

Terkait dengan ini kita bisa melihat diagram berikut ini



Dengan memahami diagram diatas dapat kita pahami bersama bahwa sesungguhnya yang berdaulat adalah para kapitalis bukan rakyat seperti yang didengung – dengungkan. Karena mekanisme dalam demokrasi memang dibuat supaya melanggengkan kapitalisme itu sendiri. Hal ini terlihat bagaimana pola hubungan antara partai politik, calon penguasa dengan kapitalis pada saat pemilu digelar.

Pada saat itu dibangunlah deal – deal politik dengan durasi waktu tertentu, missal periode 5 tahunan dan sebagainya. Sehingga wajar jika para wakil rakyat atau para penguasa terpilih tidak akan sepenuhnya mengurusi rakyatnya, mereka akan sibuk melunasi hutang budi maupun hutang harta yang telah mereka buat dengan para pemodal/kapitalis. Fakta ini bisa kita lihat bahwa akan sangat sulit kita menemukan wakil rakyat atau penguasa tanpa memiliki dukungan keuangan (financial) yang cukup, bahkan tidak jarang mereka – mereka yang menjadi wakil rakyat adalah para pengusaha atau kapitalis itu sendiri.Mereka membajak Negara melalui cara seolah – olah baik/halal dengan secara langsung atau menggunakan dan atau menciptakan figure – figure yang disukai rakyat.

Demokrasi Sebagai Alat Menuju Kesejahteraan??
Bagi orang yang berpikir jernih tentunya dengan mudah bisa menjawab pertanyaan ini. Kalau dikatakan bahwa demokrasi berkorelasi ppsitif terhadap kesejahteraan jawabanya iya bagi sebagian kecil masyarakat tetapi TIDAK bagi sebagain besar masyarakat. Karena sesungguhnya yang berdaulat adalah para kapitalis/pemodal besar, mengingat dialah yang membiayai partai (lihat kembali diagram diatas).

Mengapa Demokrasi disebut system yang bertentangan dengan Islam?
Hari ini demokrasi seolah menjadi kebenaran yang harus terus diperjuangkan dan tidak bertentangan dengan Islam. Sehingga denganya kita bisa dapati, bahkan banyak, orang – orang Islam yang memperjuangkan demokrasi tanpa tahu essensi demokrasi itu sendiri.Mereka mengatakan substansi tetapi tidak mengerti substansi dari demokrasi.

Uraian berikut berusaha untuk memberikan pandangan terkait dengan teori demokrasi dan sekaligus mencoba menelaah letak kesalahan dan perbedaan yang mencolok dalam Islam sehingga harus ditolak penerapan dan penyebaranya..

Demokrasi berasal dari kata demos=rakyat dan kratos=pemerintahan. Sehingga makna gampangnya adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat..Indah ya kedengaranya...Konsep ini berangkat dari asumsi bahwa yang paling mngerti kebutuhan rakyat adalah rakyat itu sendiri.

Akan tetapi yang paling penting dari demokrasi adalah konsep kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat. Inilah jantung/ essensi dari demokrasi sebenarnya.

Terus apa yang salah?
Begini, kita harus uraikan dulu makna kekuasaan dan kedaulatan. Kekuasaan bisa dimaknai secara gampang adalah siapa yang melaksanakan pmerintahan, sedangkan kedaulatan adalah siapa yang berhak membuat hukum. Makanya dalam demokrasi muncul sebuah jargon ”suara rakat, suara Tuhan/ vox populi vox dei”. Nah disinilah perbedaan signifikan antara sistem Islam dengan demokrasi. Artinya dalam sistem Islam, kekuasaan ada di tangan rakyat, akan tetapi  kedaulatan ada di tangan syara’, artinya yang berhak membuat hukum adalah Allah SWT, bukan rakyat (yang terepresentasikan dalam perwakilan rakyat) seperti yang terjadi dalam demokrasi. Lebih jelasnya liat diagram berikut ini :


Dari diagram diatas bisa kita lihat dengan sangat gamblang perbedaan turunnya sebuah hukum/aturan/undang – undang (aspek kedaulatan) dalam demokrasi maupun dalam Islam termasuk siapa yang memiliki hak untuk itu.

Makna hukum adalah aturan/undang – undang. Nah dalam undang – undang ini kemudian diatur segala hal yang terkait dengan segala aktivitas perikehidupan manusia baik pada level individu, masyarakat maupun negara. Undang – undang inilah yang menjadi standar kebenaran, sehingga bisa kita dapati dalam sistem sekarang akan ada orang yang dikenai sanksi baik itu penjara atau denda ketika dia melanggar undang – undang, baik itu kemudian bentuknya pidana atau perdata.

Dalam demokrasi, perwakilan rakyatlah (baca: manusia/orang) yang berhak untuk membuat hukum dalam forum/lembaga yang disebut DPR, melalui proses kompromistik dan atau voting (suara terbanyak). Sumber hukum yang dipakai dalam demokrasi intinya berasal dari manusia, baik itu melalui apa yang disebut nilai – nilai/pendapat masyarakat, adat istiadat, tradisi dan bias jadi sebagian agama, dan sebagainya.

Hal ini berbeda dengan Islam, dalam Islam yang berhak membuat hukum adalah Allah SWT yang termanifestasikan dalam Al – Qur’an dan Hadist, dari sanalah digali berbagai hukum yang terkait dengan aktivitas manusia dalam berbagai level kehidupan, yang kemudian menjadi hukum positif melalui proses ijtihad kemudian dilegislasi oleh kholifah yang kemudian dalam dunia modern disebut dengan undang – undang. Al – Qur’an dan Hadist dalam hal ini dengan kata lain merupakan konstitusi umum kaum muslimin. Walaupun tetap yang melakukan (actor) penggalian hokum/ijtihad adalah manusia, akan tetapi sumber hokum, proses penggalian hokum dan legislasi hokum tampak jelas sekali berbeda.

Maka dalam demokrasi kita bisa menemukan sesuatu/aktivitas yang jelas telah diharamkan oleh Allah SWT bisa menjadi hukumnya boleh. Misalnya minuman keras (khamr). Khamr telah jelas haram hukumnya tanpa terkecuali, tetapi bisa kita temui saat ini bahwa minuman keras adalah juga termasuk barang ekonomi sehingga bisa kita temui adanya pabrik minuman keras, yang tentunya legal (halal) karena ada aturanya dan mereka ditarik pajak secara rutin oleh pemerintah. Misal kedua adalah pornografi. Dalam Islam pornografi dan atau pornoaksi adalah haram tanpa terkecuali, akan tetapi bisa kita dapatkan bahwa dalam demokrasi pornografi adalah dibolehkan dengan syarat tertentu, misalnya harus diatas 17 tahun atau jika terkait dengan adat – istiadat maka dibolehkan.

Dari perbedaan ini lah bisa kita lihat bahwa DPR (baca; manusia) telah menjadi menjelma Tuhan baru, telah merampas otoritas/hak Allah untuk membuat hukum dan disinilah letak kekufuran nya. Hal ini persis yang digambarkan oleh Allah dalam Q.S At Taubah 31.

” Mereka menjadikan orang – orang alimnya dan rahib – rahib mereka menjadi Tuhan mereka selain Allah”

Perbedaan yang kedua, prinsip suara terbanyak juga bertentangan dalam Islam, karena dalam konteks perumusan dan pengesahan  undang – undang dalam demokrasi (yang notabene adalah standar kebenaran yang akan disahkan) di hasilkan melalui kompromi dan suara yang paling banyak, padahal suara terbanyak itu belum tentu kebenaran. Kebenaran walaupun diemban oleh satu orang akan tetap kebenaran walaupun ditentang oleh banyak orang.

Hal ini karena dalam demokrasi – sekuler, pijakan penentuan nilai kebenaran adalah kompromistis alias digali dari berbagai perspektif manusia yang notabene terbatas. Kebenaran/kebaikan hari ini belum tentu kebenaran/kebaikan di masa yang akan datang, jika diserahkan kepada manusia (karena manusia terbatas tadi). Dengan demikian maka kebenaran yang dihasilkan menjadi kebenaran yang relatif. Sementara dalam Islam, pijakannya jelas yakni aturan yang diturunkan oleh Allah SWT, Al-Qur’an dan sunnah, semuanya digali dan bersumber dari sana. Sehingga kalo ada pertentangan, ya tinggal kuat – kuatan dalil (quwwatu dalil) bukan dalih.

Monday 7 January 2013

GERAKAN FEMINISME KEMBALI KE "SUNNATULLAH"?


GERAKAN FEMINISME KEMBALI KE "SUNNATULLAH"?
Monday, 24 April 2006
oleh Santi Soekanto*

Salah satu icon feminisme Barat, Gloria Steinem, menulis dalam majalah kaum feminis terkemuka Ms. (edisi musim panas 2003), sebuah artikel yang bernostalgia tentang kehidupan manusia primitif Australia berabad lalu. Menurut Steinem kehidupan kaum primitif Australia itu ditandai pembagian kekuasaan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan, dan antara manusia dengan alam, karena semuanya adalah bagian dari satu kesatuan yang sama.

Dalam artikel berjudul Remember Our Power (Ingatlah Kekuatan/Kekuasaan Kita) itu Steinem menggambarkan harmoni ketika para kepala suku memang dipilih dari kalangan pria tetapi dengan mendengarkan nasihat kaum wanita. "Semua ini memiliki satu tujuan, keseimbangan, antara pria dan wanita, antara tiap manusia dengan masyarakatnya, antara manusia dan alam– kalau pun memang semuanya itu dianggap terpisah satu sama lain."

Sungguh kedengaran indah dan harmonis, bukan? Namun bandingkan dengan artikel Steinem di majalah Ms. Oktober 1978 yang berjudul If Men Could Menstruate (Kalau Saja Lelaki Bisa Menstruasi) yang penuh dengan olok-olok tentang betapa apa pun yang melekat pada diri pria akan dijadikannya alasan untuk menancapkan supremasi kekuasaan mereka. Kalau saja lelaki bisa mens, menurut Steinem, maka akan terjadilah male competition tentang misalnya "Saya ganti pembalut 3 kali sehari, Anda berapa?" "Berapa lama Anda mens? Wah, banyakan juga saya!" atau bahkan dijadikannya mens sebagai syarat untuk menjadi tentara ("Anda harus meneteskan darah diri sendiri sebelum meneteskan darah orang lain!").

Salah satu icon feminisme lainnya adalah Germaine Greer yang sekitar 30 tahun lalu menulis buku terkenal berjudul TheFemale Eunuch. Dia berargumentasi bahwa menjadi perempuan dan ibu rumah tangga saja tidaklah cukup bagi wanita. Buku ini menjadi semacam kitab suci kaum feminis. Pada tahun 1999 Greer menerbitkan buku barunya, The Whole Woman, yang menggambarkan perjalanan melelahkan kaum feminis dalam upaya mereka memperjuangkan kesetaraan gender.

Greer menggambarkan betapa pada akhir 60-an, yang disebut kebebasan seakan-akan demikian dekat dan dapat dicapai. Pada tahun 1999, yang mereka saksikan adalah semakin memudarnya cita-cita mereka – bukan saja karena negara dan pemerintahan dianggapnya masih terus mempertahankan pola kekuasaan lama, tetapi juga tidak bertambah banyaknya perempuan yang mengadopsi konsep feminisme yang pertama kali diusung di Barat ini. Selain itu, yang terpenting, Greer masih menyoroti apa yang dianggapnya sebagai dominasi pria, tetapi juga tampak mulai menyadari bahwa ada hal-hal yang tak bisa diubah dari spesies yang bernama manusia ini. Greer menggambarkan betapa sesudah berpuluh tahun gerakan feminisme, gadis-gadis kita masih dijajah oleh konsep "wanita cantik" yang sama – miliaran anak perempuan berdiet keras dan menghabiskan uang untuk kosmetika dan fashion agar menjadi objek seks dan kegairahan pria. Bahkan, menurut Greer, "kebebasan seks yang menyertai revolusi gender malahan lebih sering merugikan wanita." Apa yang disebut "kebebasan seks" hanya menguntungkan pria, kata Greer, karena wanita terus saja harus merasakan efek terpentingnya yakni kehamilan, sementara tubuh laki-laki sama sekali tidak terpengaruh.

Satu lagi area yang menggambarkan betapa feminisme berpuluh tahun tidak berefek baik pada wanita adalah
pornografi. Greer menyoroti betapa sesudah feminisme yang berusaha menjadikan wanita sebagai subjek, industri pornografi yang menghina dan merendahkan wanita dan menjadikannya objek seks terus menggelembung menjadi industri miliaran dolar tiap tahunnya!

Akhirnya Germaine Greer mengakui bahwa berbagai strategi yang dipakai di tahun 1960-an tidaklah membawa hasil yang jelas kalau bukan malahan membawa kerusakan. Yang terjadi saat ini bukanlah pembebasan wanita dari ketertindasan tetapi tidak lebih dari sekedar menggantikan ketergantungan wanita dari satu hal ke hal lainnya. Wanita memberontak dari ketergantungannya terhadap pria di awal gerakan feminisme, terutama di tahun 1970-an, tetapi mereka kini ganti tergantung pada hal-hal lain seperti industri kosmetika dan fashion.

Contoh terakhir adalah satu lagi icon feminisme, perempuan aktivis feminisme dari kalangan Yahudi yang ikut berperan besar dalam penggodokan Plan of Action Konferensi Beijing 1995 yang bernama Bella Abzug. Selama puluhan tahun Bella berada di garis depan kaum feminisme yang menyuarakan kemandirian dan kesamaan hak bagi perempuan di segala lini. Ketika Bill Clinton berkuasa, dia menjadi salah satu pendukung vokal Partai Demokrat. Di belakang wanita yang tampak perkasa ini terdapat Martin, suaminya yang pendiam yang selalu mendukung semua sepak terjangnya.

Dalam Ms. 1990, Bella menulis artikel "Martin, What Should I Do Now?" (Martin, Apa yang Harus Kulakukan Kini?) tentang betapa kematian Martin membuatnya bagai kapal kehilangan kemudi. "Saya memiliki reputasi sebagai seorang perempuan mandiri, dan memang saya mandiri. Tetapi jelaslah sebenarnya
saya tergantung pada Martin. Dia sering merengkuhku ke dadanya yang berbulu dan hatinya yang hangat untuk melindungiku dari semua kebusukan yang mesti dialami orang-orang yang hidup di jalanku ini. Apa yang bisa kukatakan? Hanyalah ini, ‘Hargailah hubungan (antarmanusia) dan lakukan apa saja yang bisa kau lakukan untuk memeliharanya’. Belum lama ini saya bermimpi dan bertanya kepadanya, ‘Martin, Martin, apa yang harus kulakukan sekarang?’ Dia hanya tersenyum lalu menghilang."

Ketiga ikon feminisme ini, Gloria Steinem, Germaine Greer, dan Bella Abzug, menggambarkan sebuah perubahan besar yang terjadi dalam kurun waktu beberapa dasawarsa, yaitu sebuah pergeseran pemikiran feminisme yang sangat signifikan mengenai posisi mereka dalam relasi gender dan kekuasaan. Diawali gerakan emansipasi di Amerika awal tahun 1900an, ketika wanita menuntut hak dan perlakuan yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, kaum feminis menggunakan battle-cry atau teriakan perang yang beragam, mulai dari "persamaan hak", "persamaan kekuasaan", "perbedaan pria dan wanita hanyalah soal pengasuhan dan social concepts" sampai kemudian, akhir-akhir ini, kesadaran bahwa perbedaan pria dan wanita memang bersifat biologis dan tidak bisa dielakkan. Pendulum gerakan feminisme mulai berayun ke arah yang berlawanan dengan gerakan di awal-awal lahirnya dulu.

Professor T.J. Winters --yang sesudah Muslim kini bernama Abdal-Hakim Murad (Universitas Cambridge), mencatat bahwa feminisme tahun 1960-an dan 1970-an adalah "feminisme kesejajaran" yang berjuang menghancurkan ketimpangan gender yang menurut mereka semata-mata social constructs yang bisa diubah lewat pendidikan dan media. Sedangkan feminisme tahun 1990-an adalah "feminisme perbedaan" yang berakar pada semakin tumbuhnya kesadaran bahwa faktor alami (nature) itu sama pentingnya dengan faktor pengasuhan (nurture) dalam pembentukan perilaku pria dan wanita. Kesimpulan Murad dalam artikelnya Boys will be Boys ini adalah bahwa pada akhirnya memang ada faktor-faktor tak terbantahkan yang bertanggungjawab pada perbedan pria dan wanita – dan ini semakin lama semakin diterima oleh para pemikir feminisme.

Berbagai eksperimen untuk membuktikan bahwa PRIA DAN WANITA SERATUS PERSEN SAMA sudah menyebabkan banyak kerugian. Contohnya, ketika pada tahun 1997 pemerintah Inggris memberlakukan "gender free approach" dalam merekrut tentaranya dan memberlakukan ujian fisik yang sama kepada kadet pria dan wanita maka yang terjadi adalah tingkat cedera yang tinggi di kalangan kadet wanita. Dalam Perang Teluk, satu per 10 kru wanita Kapal Perang Amerika USS Acadia dikembalikan karena hamil di perjalanan menuju atau di medan perang, sementara jumlah tentara pria yang dikembalikan: Nol. Kapal itu kemudian diolok-olok dan diganti namanya menjadi The Love Boat.

Di manakah posisi kaum feminis sekarang di Indonesia, baik yang mengaku feminis Muslim maupun feminis doang?

Sama seperti banyak wacana di Indonesia yang kerap kali masih ketinggalan beberapa dasawarsa dari yang
berlangsung di Barat, mereka ketinggalan beberapa langkah. Kebanyakan feminis di sini masih menyuarakan gender equality dan ramai memprotes yang mereka sebut "dominasi budaya patriarki".

Dalam waktu tak lama lagi, insya Allah, perlahan-lahan, mereka pun akan mengalami ayunan pendulum yang sejajar dengan kawan-kawan mereka di Barat. Mungkin lebih cepat karena semakin canggihnya teknologi informasi dan media.

Mari mendoakan agar pada akhirnya bukan sekedar berayun ke arah kesadaran baru tentang tidak terbantahkannya perbedaan pria dan wanita, tetapi juga agar mereka sampai pada kesadaran adanya sunnatullah mengenai peran dan posisi wanita dan pria yang justru paling harmonis dengan kehidupan.

wa-akhiru da‘wana ani’l-hamdu li’Llahi rabbi’l-alamin
Jakarta, 22 April 2006
* penulis adalah wartawan senior yang 11 tahun silam meliput Konferensi Wanita Dunia di Beijing
www.hidayatullah.com

Aktivitas Akhir Tahun 2012

Pada akhir tahun 2012 yang lalu saya dan Ennahda Institute mendapat kesempatan untuk memfasilitasi acara MABIT AKHIR TAHUN DPD Hizbut Tahrir Indonesia Kabupaten Tuban. Mulai dari konsep mabit sampai detil konsep outbond sampai fasilitasi lapangan. Konsep acaranya adalah malam hari peningkatan spiritual serta menyusun proposal hidup selama lebih kurang 1 tahun ke depan dilanjutkan qiyamul lail dan refleksi akhir tahun gerak dakwah. Paginya sampai tengah hari dilanjutkan outbond. Berikut ini foto - foto kegiatan tersebut, cekidot ;

Foto 1. Penyampaian Materi Proposal Hidupku

Foto 2. Ceritanya lagi mbriefing peserta outbond
 Foto 3. Game Kelereng Menuruni Bukit
 Foto 4. Game Broken Square
 Foto. 5. Foto bersama peserta di puncakk bukit wana wisata air panas, Pratakan,Parengan Tuban Jatim
 Foto 6. Game Pindah Air
 Foto 7. Narsis dulu sebelum pulang
Foto 8. Narsis bersama tim Al Fatih, sang pemenang Outbond

Ada banyak cerita ada banyak hikmah yang melingkupi mabit akhir tahun 2012 ini. Nanti kapan - kapan akan saya tuangkan dalam tulisan yang lain. Sukses buat semua, semoga Allah mengijabahi proposal hidup dan proposal dakwah kita semua, aamiiin...menuju victory 2013 dengan tegaknya khilafah 'ala minhaji nubuwwah, Allahu Akbar!!!!!