Monday 10 March 2014

KERUSAKAN METODE HERMENEUTIKA DALAM TAFSIR AL QUR’AN


Pendahuluan
Hermenetika sesungguhnya adalah metode tafsir bible yang dipaksakan oleh orang-orang Islam yang terbaratkan. Mereka silau atas peradaban barat, mereka inferior atas peradaban barat sehingga mengambil apapun yang ada dibarat.

Sebagai Metode Penafsiran, Metode Hermenutika di klaim oleh para pengusungnya sebagai metode berpikir rasional, tetapi sungguh jika kita kaji dan cermati justru tidak rasional, mengapa?karena mereka justru telah meninggalkan poin utama dimana proses berpikir rasional tersebut bisa berjalan yakni anggapan awal-informasi awal (maklumat sabiqoh). Dengan ketiadaan anggapan awal ini maka para "mufasir" ala hermeneutik pasti akan terjatuh pada ketidakpastian. Terombang-ambing oleh daya pikirnya sendiri, hidup pada alam angan-angan yang tidak jelas.

Islam-Al Qur'an telah memiliki metode tafsir yang khas, unik, terpercaya, rasional dan mapan. Itulah terwujud dalam ilmu tafsir dengan ragam model tafsir dengan metode riwayat (bi ma'tsur) metode penelaahan (bi'ra'y) dll. dan yang terpenting Al Qur'an tidak memiliki problem sebagaimana bible.


1.      Apa itu Hermeneutika

Hermeneutika (bahasa Yunani: Ερμηνεύω, hermēneuō: menafsirkan) adalah aliran filsafat yang bisa didefinisikan sebagai teori interpretasi dan penafsiran sebuah naskah melalui percobaan. Kata tersebut berhubungan dengan dewa Hermes, dewa dalam mitologi Yunani yang bertugas menyampaikan berita dari para dewa kepada manusia. Dewa ini juga dewa ilmiah, penemuan, kefasihan bicara, seni tulis dan kesenian.[1] Hermeneutika umumnya dipakai untuk menafsirkan Alkitab, terutama dalam studi kritik mengenai Alkitab. (id.wikipedia.org)

Dalam The New Encyclopedia Britannica, dikatakan bahwa hermeneutika adalah studi tentang prinsip-prinsip umum dalam interpretasi Bible (hermeneutics is the study of the general principal of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible.

Dalam sejarah interpretasi Bible, ada empat model utama interpretasi Bible, yaitu : Pertama, literal interpretation(1); Kedua, moral interpretation(2); Ketiga, allegorical interpretation(3), dan keempat; anagogical interpretation(4). Dari model-model ini, yang menjadi arus utama sejak awal sejarah Kristen adalah model literal (model Antioch) dan model alegoris (model Alexandria). (Husaini, 2005). Keempat model interpretasi Bible tersebut dipraktikkan sejak awal sejarah Kristen (abad ke-4 M), dengan tokohnya Saint Jerome, hingga berakhirnya Abad Pertengahan (abad ke-16 M) dengan tokohnya Marthin Luther. Pada masa modern, hermeneutika dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Tokoh teolog Protestan ini dikenal sebagai Bapak Hermeneutika Modern yang pertama kali berusaha membakukan hermeneutika sebagai metode umum interpretasi yang tidak terbatas pada interpretasi kitab suci atau kitab sastra. Menurut Fahrudin Faiz dalam bukunya Hermeneutika Al-Qur`an (2005), ada tiga tipe hermeneutika. Pertama, hermeneutika sebagai cara untuk memahami. Contoh tokohnya adalah Schleiermacher, Dilthey, dan Emilio Betti. Kedua, hermeneutika sebagai cara untuk memahami suatu pemahaman. Tokohnya semisal Heidegger (w. 1976) dan Gadamer. Ketiga, hermeneutika sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman. Tokohnya semisal Jacques Derrida, Habermas, dan Foucault. (Faiz, 2005:8-10).

Dalam perspektif pendekatan hermeneutik, menurut Amin Abdullah, variabel pemahaman manusia sedikitnya melibatkan tiga unsur. Pertama, unsur pengarang (author). Kedua, unsur teks (text). Ketiga, unsur pembaca (reader). Ketiga elemen pokok inilah yang dalam studi hermeneutika disebut Triadic Structure (Faiz, 2005).

Hermeneutika Al-Qur`an
Seiring dengan hegemoni peradaban Barat atas Dunia Islam, hermeneutika pun mengalami perkembangan lebih jauh lagi, yakni diaplikasikan oleh para intelektual muslim liberal terhadap Al-Qur`an. Pelopornya adalah para modernis (pembaharu) muslim abad ke-19 M, seperti Sayyid Ahmad Khan, Ameer Ali, Ghulam Ahmad Parvez, dan Muhammad Abduh (Faiz, 2005). Pada abad ke-20, dalam dekade 60-an hingga 70-an, muncul beberapa tokoh dengan karya-karya hermeneutik. Hassan Hanafi, Arkoun, Fazlurrahman, dan Nasr Hamid Abu Zayd disebut-sebut sebagai tokoh-tokoh yang menafsirkan Al-Qur`an dengan metode hermeneutika (Mustaqim, 2003:104-117; Mustaqim & Syamsudin, 2002:149-167).

Hermeneutika, sebagaimana disebut di atas, pada dasarnya merupakan suatu metode penafsiran yang berangkat dari analisis bahasa dan kemudian melangkah ke analisis konteks, untuk kemudian "menarik" makna yang didapat ke dalam ruang dan waktu saat proses pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika pendekatan hermeneutika ini dipertemukan dengan kajian Al-Qur`an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks Al-Qur`an hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dengan dinamika realitas historisnya.

Lebih jauh ada tiga variabel yang harus diperhatikan dalam rangka penerapan hermeneutika pada Al Qur’an yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tentang teks, sudah jelas Ulum Al-Qur`an telah membahasnya secara detail, misalnya dalam sejarah pembukuan mushaf Al-Qur`an dengan metode riwayat. Tentang konteks, ada kajian asbabun nuzul, nasikh mansukh, makki-madani yang menunjukkan perhatian terhadap aspek "konteks" dalam penafsiran Al-Qur`an. Tapi level kesadaran konteks hanya membawa ke masa lalu, untuk itu harus ditambahkan variabel kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan kesadaran akan kekinian dan segala logika serta kondisi yang berkembang di dalamnya. Variabel kontekstualisasi ini adalah perangkat metodologis agar teks yang berasal dari masa lalu dapat dipahami dan bermanfaat bagi masa sekarang (Faiz, 2005).

2.       Metode Hermeneutika dan Ilmu Tafsir Al Qur’an
Secara epistemis, terbukti bahwa kelahiran tafsir hermenutika tidak bisa dilepaskan dari sejarah Yahudi dan Kristen, ketika mereka dihadapkan pada pemalsuan kitab suci, dan monopoli penafsiran kitab suci oleh gereja. Dari sinilah mereka perlu melakukan dekonstruksi wahyu, yang telah tereduksi menjadi Corpus officiel clos itu. Dengan teori linguistik, mereka susun tahap wahyu untuk menjustifikasi keabsahan tafsiran mereka, yang sama-sama bersumber dari wahyu, meski bukan wahyu verbal. Meski begitu, hermeneutika tetap tidak bisa menyelamatkan kitab suci mereka dari praktek pemalsuan, termasuk tidak lepas dari problem besar, hermeneutic circle.

Realitas ini tidak dihadapi ummat Islam. Ummat Islam tidak pernah menghadapi problem seperti ummat Yahudi maupun Kristiani, baik menyangkut soal pemalsuan kitab suci maupun monopoli penafsiran. Di dalam Islam ada ilmu riwayat, yang tidak pernah disentuh oleh hermeneutika. Dengan ilmu ini, autentisitas al-Qur’an dan Hadits bisa dibuktikan. Dengan ilmu ini, riwayat Ahad dan Mutawatir bisa diuji; dan dengannya, mana mushaf yang bisa disebut al-Qur’an dan tidak bisa dibuktikan. Dengannya, historitas tanzîl, atau asbâb an-nuzûl ---dan juga asbâb al-wurûd--- bisa dianalisis. Begitu juga, periodisasi tanzîl, atau Makki dan Madani, bisa dirumuskan dengan bantuan ilmu tersebut. Dengannya juga, bisa disimpulkan, bahwa pembukuan al-Qur’an itu karena perintah Allah, bukan karena faktor sosial atau politik. Pengetahuan tersebut kemudian disistematikan oleh para ulama’ dalam kajian ‘Ulûm al-Qur’ân.

Dari sini, bisa disimpulkan bahwa sejarah yang melatarbelakangi lahirnya hermeneutika adalah sejarah pemalsuan kitab suci dan monopoli penafsiran pihak gereja. Anggapan inilah yang telah melahirkan hermeneutika sebagai kaidah interpretasi-epistemologis. Anggapan seperti sama sekali tidak terlintas dalam kepala ummat Islam. Baru setelah abad ke-20, anggapan ini dikembangkan oleh kaum terpelajar Muslim yang belajar di Barat, sehingga seakan-akan ummat Islam menghadapi persoalan dengan kitab suci mereka, seperti yang dihadapi ummat lain. Muncul Fazlur Rahman dan Arkoun, disusul Nashr Abû Zayd dan lain-lain, yang mengusung teori hermeneutika ini sebagai metode tafsir al-Qur’an.

Dengan dalih obyektivitas, hermeneutika ---sebagai interpretasi-epistemologis--- telah menolak semua anggapan untuk membangun kesimpulannya. Tetapi, kenyataannya anggapan itu tidak pernah bisa dielakkan. Inilah yang kemudian mereka sebut dengan problem besar, hermeneutic circle (lingkaran setan tafsiran) itu. Ini sekaligus menunjukkan kesalahan teori ini, sebagai metode berfikir. Dengan dalih obyektivitas, semua anggapan dibuang, padahal obyek kajian yang dihadapi bukanlah realitas empiris yang bisa diuji dengan kaidah eksperimental layaknya obyek kajian ilmiah. Kesalahan inilah yang menyebabkan kesalahan-kesalahan berikutnya, termasuk ketika teori ini digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an.

Padahal, al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan menggunakan bahasa Arab untuk menjelaskan kepada ummat manusia, tentang apa saja ihwal kehidupan mereka. Kitab ini telah diturunkan secara mutawatir, dan tersimpan di antara dua ujung mushaf. Inilah anggapan ---tepatnya realitas--- yang melatarbelakangi lahirnya tafsir al-Qur’an sebagai kajian yang berusaha menjelaskan makna-makna yang digali dari lafadz-lafadz kitab suci tersebut. Dari sinilah, dengan tegas Ibn Khaldûn menyatakan, bahwa tafsir al-Qur’an merupakan bagian dari al-‘ulûm an-naqliyyah, ilmu yang berpijak pada informasi dari pembuat syariat. Karena bidang tafsir adalah makna lafadz al-Qur’an, sementara al-Qur’an sendiri adalah kitab at-tasyrî’ yang berbahasa Arab, maka metode tafsir tidak bisa dipisahkan dari dua sumber tersebut, bahasa dan syara’. Dari sinilah, Ibn Khaldûn membagi tafsir menjadi dua: tafsîr naqlî, atau yang kini populer dengan istilah tafsîr bi al-ma’tsûr, dan tafsîr yarjî’ ilâ al-lisân, atau ---meminjam istilah Syaikh Taqiyuddîn an-Nabhâni--- tafsîr bi ar-ra’y. Jenis tafsir yang pertama adalah tafsir yang berpijak pada riwayat, termasuk nâsikh-mansûkh, asbâb an-nuzûl, dan maksud ayat. Sedangkan jenis yang kedua berpijak pada pengetahuan bahasa Arab, i’râb, dan balâghah sesuai dengan maksud dan gaya bahasa al-Qur’an. Kedua jenis tafsir ini jelas sangat ditentukan oleh informasi yang dikumpulkan oleh mufasir, baik yang bersumber dari sumber syara’ maupun bahasa. Dan, hanya dua model tafsir inilah yang diterima oleh para ulama’ sebagai tafsir yang representatif dan obyektif. Adapun tafsîr isyârî atau tafsîr ‘irfâni, tafsir yang dibangun berdasarkan pembacaan simbolis dan mistis ---seperti yang digagas oleh kaum Sufi--- atau tafsir imaginer ---seperti yang digagas Arkoun--- adalah tafsir yang dianggap tidak obyektif. Karena tafsir yang terakhir ini tunduk pada akal, atau pengalaman esoteris pembacanya.

Dengan kata lain, obyektivitas tafsir al-Qur’an itu ditentukan oleh tunduk dan tidaknya akal dalam melakukan pembacaan terhadap teks berdasarkan kedua sumber tersebut. Karena akal hanya berfungsi untuk memahami, maka dikatakan obyektif, jika tafsiran akal tunduk pada kedua sumber ---syara’ dan bahasa--- tersebut. Jika akal tidak tunduk pada kedua sumber tersebut, berarti al-Qur’an ---seperti yang dituduhkan Arkoun--- hanya menjadi alat justifikasi. Justru inilah yang menyandera tafsir hermeneutika Fazlur Rahman, Arkoun, Nash Abû Zayd dan kawan-kawannya. Di sinilah letak persoalan metode tafsir hermeneutika yang mereka kembangkan, ketika anggapan-anggapan dasar yang seharusnya digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an semuanya dibuang, seperti akidah dan syariat Islam, misalnya. Justru anggapan-anggapan kufur sengaja dikembangkan dan menjadi asumsi dasar tafsir hermeneutika mereka, misalnya: al-Qur’an adalah produk budaya, al-Qur’an adalah kompilasi Kata Tuhan dan kata Muhammad, al-Qur’an sudah tereduksi menjadi korpus resmi tertutup, dan karenanya harus didekonstruksi. Akibatnya, apa saja yang berbau syara’ harus dibuang, demi ---apa yang mereka klaim sebagai---obyektivitas.

Maka, teori hermeneutika yang memang lahir dari ranah budaya Yahudi dan Kristen itu, tentu tidak mampu untuk menjangkau apa yang dimaksud oleh al-Qur’an itu sendiri. Sebagai contoh, klasifikasi kata (lafadh) Arab, seperti majâz (kiasan) dan haqîqah (hakiki), memang dibahas oleh teori hermeneutika, sebagaimana kajian ilmu tafsir, tetapi teori hermeneutika tidak mengenal haqîqah syar’iyyah, seperti lafadz al-jihâd, as-shalâh dan sebagainya. Padahal, realitas tersebut ada di dalam al-Qur’an, ketika lafadz tersebut telah direposisi oleh sumber syara’ dari makna bahasa menjadi makna syara’. Karena teori hermeneutika tidak mengenal haqîqah syar’iyyah, maka kedua lafadz tersebut tetap diartikan sebagai haqîqah lughawiyah, sehingga masing-masing diartikan dengan kerja keras untuk jihâd, dan berdoa untuk shalâh. Tidak dimasukkannya, atau lebih tepat ditolaknya, keberadaan haqîqah syar’iyyah dalam teori hermeneutika adalah, karena teori ini lahir bukan dari teks syara’.

Dengan kerangka epistema seperti ini, teori hermeneutika juga tidak menyentuh nâsikh-mansûkh, atau penggunaan teks di luar konteks historisitasnya, sebagaimana yang dibakukan dalam kaidah: al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafdh[i] la bi khushûs[i] as-sabab. Sebab, keduanya bersumber dari sumber syara’. Dengan teori ini, ayat-ayat yang telah dinasakh dianggap masih berlaku, misalnya, surat Ali ‘Imrân [03]: 130, yang membolehkan riba, asal tidak berlipat ganda. Padahal, ayat ini sudah dinasakh dengan surat al-Baqarah [02]: 278. Kasus yang sama juga berlaku pada ayat-ayat khamer, sehingga baik riba maupun khamer menjadi boleh. Inilah produk tafsir hermeneutika. Dengan kerangka yang sama, kaidah bahasa: muthlaq-muqayyad, seperti dalam kasus as-sâriq[u] wa as-sâriqat[u] surat al-Mâ’idah [05]: 38, yang muthlaq kemudian di-taqyîd dengan hadits: majâ’ah mudhtharr (kelaparan yang mengancam nyawa), tidak diakui. Tentu, karena kedudukan Rasul hanya dianggap sebagai tokoh sejarah, bukan sebagai bagian dari as-Syâri’. Akibatnya, tindakan ‘Umar ketika tidak memotong tangan pencuri yang mencuri pada tahun paceklik dianggap sebagai tidak menerapkan hukum potong tangan. Padahal, ini bagian dari konteks muthlaq-muqayyad. Dengan Rasul yang diposisikan sebagai tokoh historis, berarti konteks mujmal-mubayyan juga tidak bisa mereka terima.

Dari sini jelas, bahwa kebobrokan tafsir hermeneutika justru terletak pada kerangka epistemologisnya, ketika menolak anggapan yang justru terjebak dengan anggapan. Dan, ini yang mereka akui sendiri, atau seperti yang mereka sebut dengan hermeneutic circle. Masalah ini terjadi, karena tafsir hermeneutika merupakan bagian dari metode berfikir rasional, bukan metode ilmiah. Metode berfikir rasional, tidak bisa dipisahkan dari anggapan atau informasi. Maka, kebobrokan tafsir hermeneutika justru terjadi karena kebobrokan metode berfikirnya. Akibatnya, bangunan pemikiran yang lahir dari kebobrokan ini penuh dengan kontradiksi dan inkonsistensi. Seperti membangun obyektivitas tafsir, yang justru terjebak dengan subyektivitas kontemplatif dan imaginer. Di sisi lain, teori interpretasi-epistemologis yang lahir dari sumber non-syara’ ini tidak cukup untuk membaca teks al-Qur’an yang bukan saja kitab berbahasa Arab, tetapi juga kitab tasyrî’. Maka, pemaksaan al-Qur’an hanya sebagai kitab berbahasa Arab, atau buku sastra, dan bukan kitab tasyrî’, bisa dipahami sebagai upaya untuk menundukkan al-Qur’an agar bisa didekati dengan teori yang miskin ini.
3.       Dampak Penggunaan Metode Hermeneutika
1. Merusak tatanan syariat (hukum) Islam yang Telah Mapan secara keseluruhan
Dengan kontekstualisasi maka beberapa hukum yang telah mahsyur menjadi batal. Misal mengapa daging babi diharamkan? Maka harus dilihat konteksnya bukan hanya teksnya. Secara sosio-ekonomis, daging babi haram karena babi adalah binatang langka di arab ketika ayat itu diturunkan. Padahal babi saat ini adalah binatang yang paling menguntungkan jika diternakkan, karena itu ternak babi saat ini secara kontekstual “sosio-ekonomis adalah halal saat ini, karena sangat maslahat bagi umat Islam. Lalu misalnya mengapa khamr diharamkan?secara kontekstual, arab adala daerah panas, maka waja khamr diharamkan. Jika konteksnya berubah (udara dingin) maka khamr bisa saja menjadi halal.
2. Al Qur’an menjadi tunduk pada akal
Al Qur’an yang merupakan kalamullah menjadi sama dengan teks-teks lain pada umumnya yang meniscayakan kontekstualisasi dan dengan demikian konstruksi wahyu menjadi hilang. Al Qur’an dengan demikian bisa didekati dengan perspektif HAM, Demokrasi, Gender Equality dan berbagai racun pemikiran lainya.
3. Runtuhnya Bangunan Keimanan/Tauhid Umat Islam
Hermeneutika berangkat dari asumsi pemikiran dasar yakni tidak ada kebenaran mutlak, kebenaran itu relatif. Dengan asumsi tersebut maka seluruh klaim kebenaran, termasusk didalamnya adalah agama menjadi hilang atau harus dihilangkan. Pemikiran inilah yang menjadi dasar atas munculnya paham pluralisme agama yang haram.

Hermeneutika sebagai bagian dari karya besar orientalisme telah berhasil, setidaknya berhasil menciptakan hegemoni pengetahuan atas tafsir kitab suci termasuk Al Qr’an. Sebagaimana tujuan dari orientalisme yang memang digunakan sebagai upaya hegemoni barat-kristen atas dunia timur-Islam. Harapan besarnya tentu adalah makin hilangnya kepercayaan/keyakinan umat Islam atas Islam itu sendiri.

4.       Khatimah
a.       Hermenutika sebagai metode tafsir bible tidak bisa diterapkan dalam menafsiri Al Qur’an karena 2 (dua) hal yakni bahwa (1) teks al qur’an dan bible adalah tidak sama/berbeda dan (2) sejarah peradaban kristen dan Islam yang juga berbeda
b.      Hermeneutika dalam bible bermula dari masalah 1)ketidakyakinan atas kesahihan teks bible oleh para ahli bible. 2) tidak adanya laporan tentang tafsiaran yang boelh diterima umum, yakni ketiadaan tradisi mutawatir dan ijma dan 3) tidak adanya sekelimpok manusia yang menghaalnya.
c.       Secara epistemologis, hermeneutika ---sebagai teori interpretasi-epistemologis---bukan dari Islam, tetapi merupakan produk tsaqâfah Barat. Pengetahuan yang lahir dari akidah dan pandangan hidup yang berbeda dengan Islam. Sebagai metode berfikir, hermeneutika justru mengalami kebobrokan dari dalam, terutama ketika meniadakan anggapan-anggapan dasar, yang notabene dibutuhkan oleh sebuah metode berfikir rasional seperti ini. Dan, sebagai teori interpretasi-epistemologis, atau kaidah penafsiran, tafsir hermeneutika hanya bisa digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an jika dibangun berdasarkan angggapan yang salah terhadap al-Qur’an. Seperti anggapan, bahwa al-Qur’an hanyalah produk budaya; al-Qur’an itu tunduk pada sejarah; al-Qur’an itu kompilasi Kata Tuhan dan kata Muhammad; al-Qur’an ---karena kehendak sejarah, bukan karena perintah Tuhan--- telah direduksi menjadi Corpus officiel clos. Dari sinilah, lahir tahap-tahap pewahyuan Arkoun, yang dipengaruhi oleh pandangan Paul Ricoeur itu. Begitu juga, ketika al-Qur’an hanya dianggap sebagai kitab sastra Arab, dan bukan kitab tasyrî’, maka keterbatasan hermeneutika itupun bisa digunakan untuk menjamah kitab suci ini. Namun, jika anggapan terhadap al-Qur’an itu benar, teori epistema seperti ini pasti tidak mempunyai tempat di sisi al-Qur’an yang mulia itu.
Di atas semuanya itu, seperti keinginan Arkoun, semuanya itu dimaksud untuk melakukan sinkretisme, agar nilai kebenaran kitab suci itu bisa diterima oleh semua “ahli kitab” (Yahudi, Nasrani dan Islam), atau mengkompromikan Islam dengan kekufuran.
d.      Beberapa tokoh orientalis-hermeneutika di Indonesia adalah Harun Nasution (aktor perubahan IAIN-PTAIN menjadi UIN dll), Nurcholis Madjid keduanya merupakan murid langsung Fazlur Rahman (Mc Gill University, USA). Saat ini dilanjutkan oleh Azyumardi Azra, Luthfi Asyaukani, Abdul Moqsith Ghozali, Ulil Abshar Abdala dll (JIL).

e.       Hermeneutika sebenarnya tidak terlepas dari agenda orientalis terhadap Islam. Antitesanya yakni oksidentalisme muncul tetapi tidak se-dahsyat orientalisme. Karena memang oksidentalisme tidak dalam rangka counter hegemonic tetapi lebih pada penyeimbang hegemoni orientalisme yang didukung dengan dana tak terbatas oleh barat-kristen. Semoga ALLAH senantiasa lindungi kita, keluarga dan ummat Islam dari racun – racun pemikiran dan ALLAH juga segera menurunkan pertolongannya bagi tegaknya Syariah dan Khilafah,aamiin yaa robbal ‘alamin. Wallahu’alam bishowab.[] Disarikan dari berbagai sumber.

Thursday 27 February 2014

TNI Manunggal dengan Relawan HTI dan Warga Perbaiki Sumber Air Bersih


Berita Foto Aktivitas Qodho Masholih Ummat Hizbut Tahrir Indonesia di Gunung Kelud:

Di Posko yang terletak di Dusun Panggungsari Desa Kebonrejo Kec. Kepung di didapatkan fakta bahwa air bersih menjadi persoalan utama warga karena sumber air dari PDAM rusak jaringanya dan sumber yang berasal dari lereng kelud juga tidak mengalir.
Pada malam hari selepas Magrib hari Sabtu/22 Feb 2014 para relawan HTI bersilaturahim dengan warga dan dari hasil silatruahim tersebut didapatkan informasi letak sumber air walaupunn belum bisa dipastikan.
Akhirnya ba'da shubuh hari ahad/23 Feb 2014 diputuskan memberangkatkan tim yang dipimpin oleh Ust. Hussein. 

Alhamdulillah niat untuk mencari tahu kondisi sumber air mendapatkan dukungan dari warga yang kebetulan berpapasan dengan tim. AKhirnya warga bersama tim menuju bendung sumber air.

Setelah perjalanan panjang kurang lebih 3 KM jalan kaki naik turun bukit tim dan warga sampai di bendung sumber air yang ternyata jaringan tertutup oleh batu-batu besar-pasir dan sebagainya. 

Mengetahui hal itu tim yang awalnya hanya ingin mencari informasi kondisi bendung sumber air memutuskan untuk sekaligus mengeksekusi (menyingkirkan sumbatan yang ada) bersama warga. dan Alhamdulillah tidak lama kemudian datang tim dari TNI (Yonif Branjangan Surabaya) datang untuk membantu. Jadilah tim dari Hizbut Tharir Indonesia manunggal bersama TNI dan warga bahu membahu menyingkirkan sumbatan batu-batu besar, pasir dll.

Dan alhamdulillah sebelum jam makan siang sumbatan-sumbatan tersebut berhasil disingkirkan.

Dari informasi warga didapatkan bahwa relawan HTI adalah relawan pertama yang sampai dan memikirkan keberadaan sumber air tersebut. Informasi dari warga mereka sudah melaporkan kondisi tersebut kepada pihak berwenang tetapi belum mendapatkan perhatian. Perwakilan warga Bapak Gianto menyatakan salud dan apresiasi kepada tim relawan HTI atas kinerjanya.

Semoga kerja keras tim dan semua yang terlibat, bapak-bapak dari TNI dibalas oleh ALLAH dengan pahala yang berlipat,aamiiin yaa robbal 'alamin..